Sunday, February 10, 2013

SISTIM PERTAHANAN EKSTERNAL



MEMBANGUN SUATU SISTIM PERTAHANAN EKSTERNAL DI PERBATASAN

DESKRIPSI KAWASAN PERBATASAN INDONESIA
Negara Indonesia dengan potensi yang dimilikinya menyimpan sejarah dan perjalanan hidup yang cukup panjang. Sejarah mencatat bahwa Indonesia yang terletak di jalur perdagangan laut internasional dan antar pulau, telah menjadi jalur pelayaran antara India, Cina dan Eropa selama beberapa abad lalu menjadikan Indonesia sebagai tempat yang ideal bagi kehidupan bangsa setidaknya Indonesia telah menjadi daerah yang diminati bangsa lain sejak abad ke-8 SM. Indonesia memiliki luas wilayah sebesar 7,7 juta kilometer persegi yang terdiri dari daratan seluas 1,9 juta kilometer persegi dan laut seluas 5,8 juta kilometer persegi. Berdasarkan data geografis menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki pulau sejumlah 17.504 pulau besar dan sekitar 9.634 pulau kecil, di antaranya tidak berpenghuni. Luas wilayah perairan Indonesia mencapai 5,8 juta km2, serta panjang garis pantainya mencapai 81.900 km2, dua pertiga dari wilayah Indonesia adalah laut, implikasinya, hanya ada tiga perbatasan darat dan sisanya adalah perbatasan laut. Perbatasan laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara diantaranya Malaysia, Singapura, Filipina, India, Thailand, Vietnam, Republik Palau, Australia, Timor Leste, dan Papua Nugini. Sedangkan untuk wilayah darat, Indonesia berbatasan langsung dengan tiga negara, yakni Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste dengan panjang  garis perbatasan darat secara keseluruhan 2914,1 km.  (http://id.wikipedia.org/ wiki/Indonesia)
Melihat kondisi geografi Indonesia dengan wilayah laut dan daratan yang sedemikian luas tentunya membutuhkan sistem manajemen perbatasan yang terorganisir dan profesional, baik itu ditingkat pusat maupun daerah. Belum tuntasnya masalah tapal batas serta timbulnya berbagai persoalan di perbatasan Indonesia-malaysia akibat minimnya manajemen serta infrastruktur di kawasan perbatasan telah menunjukan kurang optimalnya pengawasan dan pengamanan wilayah perbatasan hingga dapat mengganggu tegaknya kedaulatan, kehormatan dan kewibawaan bangsa Indonesia.  Selama ini, tanggung jawab pengelolaan wilayah perbatasan hanya bersifat koordinatif antar lembaga pemerintah, departemen dan non departemen tanpa ada sebuah lembaga yang langsung bertanggung jawab melakukan manajemen perbatasan secara terpadu bersama TNI dari tingkat pusat hingga daerah. Bertolak dari latar belakang permasalahan tersebut diatas maka dapat ditemukan identifikasi masalah sebagai berikut ;
Apa yang menjadi tolok ukur profesionalisme Aparat TNI dalam melaksanakan tugas pengamanan wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia sesuai undang-undang guna mengantisipasi ataupun mencegah konflik antar negara serta mengurangi ancaman terhadap kedaulatan Negara ? Bagaimana upaya mengoptimalkan peran aparat TNI dalam rangka menjaga kedaulatan Negara di Perbatasan RI-malaysia melalui pengembangan kantor bersama otorita perbatasan? dan Apa pengaruh dominan aparat TNI dalam melaksanakan tugas pengamanan perbatasan melalui Binter ?
Persoalan diwilayah batas yang memisahkan satu negara dengan negara lain merupakan permasalahan pelik dan massive yang dialami oleh bangsa ini. Tidak jarang hampir disetiap negara sering terjadi konflik yang disebabkan oleh masalah perbatasan. Di Indonesia sendiri perdagangan manusia (Human trafficking), pelintas batas, teroris dan penyelundupan narkoba turut mempengaruhi kompleksnya masalah perbatasan. Pelanggaran perbatasan diwilayah Indonesia-Malaysia yang berkaitan dengan batas suatu negara sering kali terjadi dan dilakukan oleh tingkah laku politik salah satu negara yang berkepentingan serta melibatkan warga masyarakat dan militer asing di perbatasan termasuk tindakan merubah peta perbatasan yang dilakukan secara sepihak oleh negara tersebut, hal ini mengindikasikan adanya upaya untuk mengingkari komitmen yang telah ditetapkan berdasarkan batas yuridiksi Internasional karena adanya kepentingan serta menginginkan sumber daya alam wilayah Indonesia.
Persoalan tersebut nampaknya tidak terhenti disitu saja, perambahan hutan dan pencurian kayu yang terjadi turut mempengaruhi geografi bangsa serta kerugian dibidang ekonomi dan implikasinya adalah timbulnya distorsi sendi kehidupan sosial bangsa, terganggunya stabilitas dibidang ideologi, politik, sosial budaya serta pertahanan dan keamanan. Apabila kita cermati atas segala kejadian maupun konflik yang menimpa bangsa ini, tentunya kita tidak dapat menampik bahwa pengaruh negara lain cukup dominan didalamnya, dan bangsa kita juga tidak terlalu naïf untuk tidak menyadari hal tersebut, sehingga kita perlu konsolidasi guna membenahi kedalam. Adanya gagasan maupun ide serta pemikiran perlu dimunculkan dan didiskusikan untuk melahirkan konsep pemikiran sistem pertahanan dan keamanan Negara dalam menghadapi ancaman melalui suatu konsep strategi sistem pertahanan eksternal, sehingga tidak terjadi kesenjangan pemerintahan di wilayah perbatasan.
Penanganan masalah wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia saat ini dirasa tidak cukup, apabila hanya ditangani oleh TNI semata, atau dilakukan hanya melalui pendekatan aspek keamanan (Security Approach), melainkan juga perlu adanya dukungan dan political will dari pemerintah daerah setempat, untuk melaksanakan pembangunan melalui pendekatan aspek kesejahteraan (Prosperity Approach) terhadap kehidupan masyarakat wilayah perbatasan yang dinamis, dimana terdapat komunitas masyarakat serta potensi wilayah didalamnya. Dengan melihat ketentuan UU No 32/2004 tentang pemerintah daerah, bahwa tugas pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat merupakan domain Pemerintah ataupun Pemerintah daerah sedangkan pada ketentuan sebagaimana diatur dalam BAB V Pasal 9, UU No 43/2008 yang mengatur kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah sebagai berikut :
“Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan”.
Maka adanya ketentuan tersebut diatas dapat dijadikan sebagai landasan bagi Pemerintah daerah untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan wilayah Negara kawasan perbatasan melalui pembangunan di daerahnya. Demikian pula dengan ketentuan UU No 43/2008 tentang pembangunan kawasan perbatasan serta berbagai ketentuan lainnya, yang seluruhnya dapat mendukung pemerintah daerah dan TNI untuk dapat mengembangkan sistim manajemen pengamanan perbatasan secara sinergis yang berorientasi pada aspek kesejahteraan (Prosperity Approach) dan keamanan (Security Approach) guna menutupi kesenjangan sinergitas pemerintahan.
 Beberapa pengamat menyoroti adanya kesenjangan ini, karena memang yang tampak selama ini, bahwa pengelolaan wilayah perbatasan masih bersifat koordinatif antara TNI dan Pemerintah daerah, masing-masing menjalankan amanat undang-undang yang sama, yaitu pengelolaan wilayah perbatasan, hanya perbedaannya TNI mengelola wilayah perbatasan pada aspek keamanan sedangkan pemerintah daerah dalam aspek kesejahteraan, dan disinilah letak kesenjangan tersebut yang perlu secara disinergikan menjadi pengelolaan wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia yang aman, damai dan sejahtera.
Tugas TNI berdasarkan UU No 34/2004 ialah melaksanakan Operasi Militer untuk Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan dalam tugas pengamanan wilayah perbatasan ini pada hakikatnya TNI bertugas untuk membantu pemerintah melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dengan memberdayakan wilayah pertahanan serta kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta. Sebagaimana dimaksud pada UU No 3/2002 BAB I Ketentuan umum menjelaskan tentang Pertahanan Negara sebagai berikut :
Pasal 1 ayat 1 “Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara”.
Serta ayat 2, “Sistem Pertahanan Negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut, untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman”.
Ketentuan tersebut menyoroti tentang sistim pertahanan Negara yang bersifat semesta, dimana TNI-Rakyat memiliki tugas yang sama untuk membela Negara secara semesta dan TNI sebagai komponen utama. Dalam konsep pengelolaan wilayah perbatasan yang mengedepankan supremasi sipil dapat dilaksanakan dengan mengadopsi struktur organisasi penugasan PBB (Persatuan Bangsa Bangsa), yaitu membentuk suatu kantor badan/lembaga khusus yang bertugas menangani masalah wilayah perbatasan dalam konteks membangun wilayah perbatasan aspek kesejahteraan dan aspek pertahanan dengan Pemerintah ataupun pemerintah daerah sebagai unsur utama, serta TNI sebagai unsur lainnya dan berada dalam satu struktur organisasi  dibawah kepemimpinan suatu lembaga dan bersifat penugasan, hal ini tentunya senada dengan ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU No 3/2002
“Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nonmiliter menempatkan lembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama, sesuai dengan bentuk dan sifat ancaman yang dihadapi dengan didukung oleh unsur-unsur lain dari kekuatan bangsa”.
Pada pelaksanaan tugas OMSP yaitu menjaga wilayah perbatasan, TNI melaksanakan tugasnya dalam Karakter professional, sebagai pemegang otoritas di kawasan perbatasan sesuai undang- undang,  maka perlu mendorong pemerintah untuk membentuk sebuah kantor badan pengelola kawasan perbatasan yang berfungsi mengelola wilayah perbatasan aspek pertahanan dan kesejahteraan. Pengelolaan wilayah perbatasan dilaksanakan melalui pembentukan kantor otoritas kawasan perbatasan di tingkat nasional dan daerah yang berfungsi untuk menyelenggarakan pengamanan perbatasan, menangani masalah perbatasan, mengelola kawasan perbatasan, mengembangkan perekonomian guna kesejahteraan masyarakat serta menegakkan kedaulatan, kewibawaan dan kehormatan bangsa dengan melibatkan pemerintah pusat dan daerah sebagai unsur utama serta TNI sebagai pengaman perbatasan Negara yang diselenggarakan dalam suatu kegiatan terpadu kantor bersama setingkat badan nasional yang dipimpin oleh perwakilan pemerintah pusat sebagai penentu kebijakan guna mendukung perencanaan dan anggaran serta TNI sebagai pengaman perbatasan dengan orientasi tugas pemberdayaan wilayah perbatasan. 
Khususnya dalam konsep kegiatan, TNI tidak lagi berfungsi sebagai kalak giat (Kepala pelaksana kegiatan) melainkan berfungsi sebagai pelaksana. Dalam hal ini TNI hanya  terfokus untuk melaksanakan tugas-tugas pengamanan di wilayah perbatasan, sedangkan dalam kegiatan pembangunan yang bersifat startegis, dapat disampaikan  oleh TNI yang bertugas dalam organisasi lembaga tersebut berupa saran kepada pimpinan kantor lembaga. Hal ini tentunya dapat memudahkan penyaluran anggaran pengelolaan wilayah perbatasan yang didukung oleh APBN maupun APBD setempat
Adanya Kantor Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan atau yang disingkat BNPP serta kantor Badan Pengelola Kawasan Perbatasan atau yang disingkat BPKP yang telah terbentuk selama ini, belum dapat berjalan secara sinergis dengan TNI dalam pengelolaan wilayah perbatasan aspek keamanan. Lembaga tersebut hanya dapat menyelenggarakan pembangunan dalam aspek kesejahteraan semata, pertanyaannya apakah badan tersebut dapat menyelenggarakan pertahanan ? demikian juga sebaliknya pamtas TNI apakah bisa menyelenggarakan pembangunan aspek kesejahteraan ?. Pertanyaan diatas memerlukan sinkronisasi pemikiran serta kebesaran hati bersama untuk sama-sama menyadari akan tugas dan fungsi masing-masing berdasarkan Undang-Undang dan dapat bekerja sama secara terpadu dalam penyelenggaraan pertahanan wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.