Tuesday, August 20, 2013

PERANG GENERASI KE 4 (FOURTH GENERATION WARFARE)


Perkembangan lingkungan global dan lingkungan strategis saat ini sangat dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi antar negara-negara besar di dunia termasuk diantaranya Amerika Serikat, Cina, Rusia, India, dan Jepang. Negara negara tersebut dalam mengejar dan mengamankan kepentingan nasionalnya sering kali diwarnai oleh munculnya konflik antarnegara, sehingga menimbulkan ketegangan dan bahkan dapat berkembang menjadi konflik di kawasan. Latar belakang konflik lebih disebabkan oleh adanya perebutan kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam terutama energi gas alam dan minyak bumi untuk mempertahankan kelangsungan industrinya. Sementara itu, adanya pemanfaatan energi melalui upaya mengeksploitasi sumber daya alam yang berlebihan juga mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang berpengaruh terhadap keseimbangan alam sehingga rawan terjadi bencana alam.
        Salah satu pendorong globalisasi adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang membawa dampak positif menguatnya kerja sama antarnegara dalam mengatasi berbagai tantangan dan ancaman serta keuntungan yang memungkinkan interaksi antarmanusia menjadi semakin mudah dan cepat tanpa dibatasi oleh adanya jarak dan letak geografi. Namun, kondisi ini juga berpotensi memacu persaingan antarnegara, baik dalam dimensi ekonomi, politik, maupun pertahanan.
Adapun dampak negatif yang menyebabkan melebarnya jurang pemisah antara negara maju dan negara berkembang adalah adanya perbedaan kemampuan dalam pemanfaatan teknologi yang sangat tidak seimbang. Disamping itu ketergantungan kehidupan manusia pada dunia maya semakin tinggi dan sekaligus menjadikan dunia maya sebagai sumber ancaman baru (cyber threat) yang bersifat asimetris. Ancaman asimetris yang memiliki sifat antara lain non konvensional, tidak mengenal front, sangat luas dan lebih mengedepankan kekuatan soft power.
 Munculnya bahaya perang generasi keempat ini ( 4th generation warfare ). Konflik perang ini diawali dengan adanya pengaburan garis antara perang dan politik, tentara dan sipil, sehingga sangat sulit menentukan metode perang yang digunakan. Bahkan muncul berbagai macam isu yang merebak menjelang terjadinya perang tersebut. Para pengamat perang menyatakan bahwa saat ini  telah datang generasi perang selanjutnya, yakni Generasi Perang Ke-4. Perang ini dikenal sebagai “Perang Generasi Keempat (Fourth Generation War), dimana perbedaan antara situasi perang dan situasi damai menjadi kabur. Sulit membedakan antara pasukan militer dan sipil. Aksi-aksi dapat dilakukan secara serentak, diam-diam dan dapat mencakup suatu daerah yang luas.
Pola perang generasi keempat ini memang berbeda dengan perang-perang fisik konvensional, bukan lagi mengandalkan persenjataan yang bersifat hardpower untuk penguasaan wilayah atau tanah yang akan dijadikan target tapi juga Soft Power," yaitu untuk mengubah pola pemikiran, cara hidup, cara pandang, dan ideologi pasar. Perang Generasi keempat ini merupakan perpaduan dari politik, sosial, militer, ekonomi bahkan budaya sebagai sarana yang bertujuan utama untuk mengalahkan wilayah Negara atau mematahkan semangat pihak lawan. Hal ini harus segera diwaspadai dan dideteksi secara dini agar bahaya-bahaya yang timbul dapat segera dinetralisir.
        Beberapa pengamat berpendapat bahwa, Indonesia pada jangka waktu 20 tahun kedepan kecil sekali kemungkinan untuk menghadapi perang, akan tetapi kita tidak boleh melupakan saat ini kita sedang menghadapi perang modern. Kita telah memasuki fase perang asimetris atau yang lebih dikenal sebagai perang generasi keempat  (Fourth Generation War). Tanpa disadari perang ini sudah memasuki wilayah Negara Indonesia dan menyerang seluruh sendi kehidupan bangsa. Hal ini dapat dilihat dari keadaan perpolitikan Indonesia yang semakin menimbulkan gejala-gejala perpecahan antar anak bangsa, perdagangan bebas dan juga kegiatan terorisme yang bermunculan menambah resah situasi keamanan Negara ini.
        Seorang pengamat William S. Lind menyatakan bahwa perang ini merupakan perang antara sebuah Negara dengan sebuah non-state actors. bentuknya bisa bermacam-macam mulai dari gerakan teroris, kartel obat bius, gang mafia, Transnational crime syndicate, gerilyawan dan lain-lain yang melakukan perjuangan bersenjata melawan suatu negara termasuk rakyatnya.
         Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dalam sambutan Rapim TNI TA.2013 di Aula Gatot Subroto, Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur Selasa (29/1/2013). Mengungkapkan bahwa dunia saat ini telah memasuki era peperangan generasi keempat. Karakteristiknya sangat berbeda dengan tiga generasi peperangan sebelumnya yang bersifat konvensional dan tradisional berupa peperangan kontak fisik. "Munculnya peperangan generasi ke empat tidak terlepas dari perubahan masyarakat dunia seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan technical yang mempengaruhi sifat alamiah dari perang."
        Konsep dasar peperangan generasi keempat adalah sikap politik yang lebih kuat dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar,"dengan kata lain, peperangan generasi keempat karakteristiknya bersifat politik berkepanjangan dan terhubung dalam jaringan yang menghadapkan kita pada aktor," jelasnya. Menurutnya, bukan saja aktor non-negara, tetapi dapat pula aktor negara yang menggunakan cara-cara non tradisional untuk mengalahkan yang lebih kuat seperti melalui ekonomi dan kekuatan media yang mampu mengalahkan kekuatan perang konvensional. "Cara-cara non tradisional yang dimaksud antara lain adalah ekonomi, diplomatik, Cyber Warfare, media dan lain sebagainya," tegasnya. (TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Selasa, 29/1/2013, diakses tgl 15/6/2013).
Upaya pembentukan sistem pertahanan dan keamanan nasional yang melibatkan elemen rakyat sebagai sistem cadangan kekuatan pertahanan di Indonesia, mempunyai kedudukan yang tak kalah pentingnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sitim pertahanan sebagaimana yang telah teruji pada saat perang kemerdekaan mencerminkan sistim pertahanan semesta (Sishanta) yang diselenggarakan TNI saat ini.  Wehrkreise atau kantung-kantung perlawanan sebagai pusat komando terus dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya oleh TNI dimana konsep pembentukan kantung-kantung perlawanan diarahkan guna mewujudkan Daerah pangkal perlawanan yang dibentuk dan disiapkan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, didalamnya terhimpun kekuatan militer, Ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta pemerintahan.

No comments:

Post a Comment