Perkembangan
lingkungan global dan lingkungan strategis saat ini sangat dipengaruhi oleh
interaksi yang terjadi antar negara-negara besar di dunia termasuk diantaranya
Amerika Serikat, Cina, Rusia, India, dan Jepang. Negara negara tersebut dalam
mengejar dan mengamankan kepentingan nasionalnya sering kali diwarnai oleh
munculnya konflik antarnegara, sehingga menimbulkan ketegangan dan bahkan dapat
berkembang menjadi konflik di kawasan. Latar belakang konflik lebih disebabkan
oleh adanya perebutan kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam terutama
energi gas alam dan minyak bumi untuk mempertahankan kelangsungan industrinya. Sementara
itu, adanya pemanfaatan energi melalui upaya mengeksploitasi sumber daya alam
yang berlebihan juga mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup yang
berpengaruh terhadap keseimbangan alam sehingga rawan terjadi bencana alam.
Salah
satu pendorong globalisasi adalah perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi yang membawa dampak positif menguatnya kerja sama antarnegara dalam
mengatasi berbagai tantangan dan ancaman serta keuntungan yang memungkinkan
interaksi antarmanusia menjadi semakin mudah dan cepat tanpa dibatasi oleh
adanya jarak dan letak geografi. Namun, kondisi ini juga berpotensi memacu
persaingan antarnegara, baik dalam dimensi ekonomi, politik, maupun pertahanan.
Adapun
dampak negatif yang menyebabkan melebarnya jurang pemisah antara negara maju
dan negara berkembang adalah adanya perbedaan kemampuan dalam pemanfaatan
teknologi yang sangat tidak seimbang. Disamping itu ketergantungan kehidupan
manusia pada dunia maya semakin tinggi dan sekaligus menjadikan dunia maya
sebagai sumber ancaman baru (cyber threat) yang bersifat asimetris.
Ancaman asimetris yang memiliki sifat antara lain non konvensional, tidak
mengenal front, sangat luas dan lebih mengedepankan kekuatan soft
power.
Munculnya
bahaya perang generasi keempat ini ( 4th generation warfare
). Konflik perang ini diawali dengan adanya pengaburan garis antara perang dan
politik, tentara dan sipil, sehingga sangat sulit menentukan metode perang yang
digunakan. Bahkan muncul berbagai macam isu yang merebak menjelang terjadinya
perang tersebut. Para pengamat perang menyatakan bahwa saat ini telah
datang generasi perang selanjutnya, yakni Generasi Perang Ke-4. Perang ini
dikenal sebagai “Perang Generasi Keempat” (Fourth Generation War), dimana
perbedaan antara situasi perang dan situasi damai menjadi kabur. Sulit membedakan
antara pasukan militer dan sipil. Aksi-aksi dapat dilakukan secara serentak,
diam-diam dan dapat mencakup suatu daerah yang luas.
Pola
perang generasi keempat ini memang berbeda dengan perang-perang fisik
konvensional, bukan lagi mengandalkan persenjataan yang bersifat hardpower
untuk penguasaan wilayah atau tanah yang akan dijadikan target tapi juga Soft Power," yaitu untuk mengubah
pola pemikiran, cara hidup, cara pandang, dan ideologi pasar. Perang Generasi keempat ini merupakan perpaduan dari politik, sosial, militer,
ekonomi bahkan budaya sebagai sarana yang bertujuan utama untuk mengalahkan
wilayah Negara atau mematahkan semangat pihak lawan. Hal ini harus
segera diwaspadai dan dideteksi secara dini agar bahaya-bahaya yang timbul
dapat segera dinetralisir.
Beberapa pengamat
berpendapat bahwa, Indonesia pada jangka waktu 20 tahun kedepan kecil sekali
kemungkinan untuk menghadapi perang, akan tetapi kita tidak boleh melupakan
saat ini kita sedang menghadapi perang modern. Kita telah memasuki fase perang
asimetris atau yang lebih dikenal sebagai perang generasi keempat (Fourth Generation War). Tanpa
disadari perang ini sudah memasuki wilayah Negara Indonesia dan menyerang
seluruh sendi kehidupan bangsa. Hal ini dapat dilihat dari keadaan perpolitikan
Indonesia yang semakin menimbulkan gejala-gejala perpecahan antar anak bangsa,
perdagangan bebas dan juga kegiatan terorisme yang bermunculan menambah resah
situasi keamanan Negara ini.
Seorang pengamat William S. Lind
menyatakan bahwa perang ini merupakan perang antara sebuah Negara dengan sebuah
non-state actors. bentuknya bisa bermacam-macam mulai dari gerakan teroris,
kartel obat bius, gang mafia, Transnational crime syndicate, gerilyawan
dan lain-lain yang melakukan perjuangan bersenjata melawan suatu negara
termasuk rakyatnya.
Panglima
TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dalam sambutan Rapim TNI TA.2013 di Aula Gatot
Subroto, Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur Selasa (29/1/2013). Mengungkapkan
bahwa dunia saat ini telah memasuki era peperangan generasi keempat.
Karakteristiknya sangat berbeda dengan tiga generasi peperangan sebelumnya yang
bersifat konvensional dan tradisional berupa peperangan kontak fisik.
"Munculnya peperangan generasi ke empat tidak terlepas dari perubahan
masyarakat dunia seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan technical
yang mempengaruhi sifat alamiah dari perang."
Konsep dasar peperangan generasi keempat adalah
sikap politik yang lebih kuat dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer
yang lebih besar,"dengan kata lain, peperangan generasi keempat
karakteristiknya bersifat politik berkepanjangan dan terhubung dalam jaringan
yang menghadapkan kita pada aktor," jelasnya. Menurutnya, bukan saja aktor
non-negara, tetapi dapat pula aktor negara yang menggunakan cara-cara non
tradisional untuk mengalahkan yang lebih kuat seperti melalui ekonomi dan
kekuatan media yang mampu mengalahkan kekuatan perang konvensional.
"Cara-cara non tradisional yang dimaksud antara lain adalah ekonomi,
diplomatik, Cyber Warfare, media dan lain sebagainya," tegasnya. (TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA – Selasa,
29/1/2013, diakses tgl 15/6/2013).
Upaya
pembentukan sistem pertahanan dan keamanan nasional yang melibatkan elemen
rakyat sebagai sistem cadangan kekuatan pertahanan di Indonesia, mempunyai
kedudukan yang tak kalah pentingnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Sitim pertahanan sebagaimana
yang telah teruji pada saat perang kemerdekaan mencerminkan sistim pertahanan
semesta (Sishanta) yang
diselenggarakan TNI saat ini. Wehrkreise
atau kantung-kantung perlawanan sebagai pusat komando terus dikembangkan dan
ditingkatkan kemampuannya oleh TNI dimana konsep pembentukan kantung-kantung
perlawanan diarahkan guna mewujudkan Daerah pangkal perlawanan yang dibentuk
dan disiapkan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, didalamnya
terhimpun kekuatan militer, Ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta
pemerintahan.
No comments:
Post a Comment