Perkembangan situasi Internasional, regional dan
nasional saat ini, berimpikasi timbulnya isu globalisasi seperti demokratisasi,
HAM dan lingkungan hidup yang dihembuskan oleh negara maju. Hal ini
mengindikasikan adanya upaya intervensi terhadap negara berkembang yang
mengarah kepada terjadinya kompetisi ekonomi antar bangsa baik dalam lingkup
global maupun regional, yang dapat mengancam sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Bentuk ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia
saat ini juga berkembang dan dapat berupa ancaman asimetris (Asymmetric Threats) atau ancaman non linier yang mencapai
ekstrimnya, dimana tidak mengenal medan perang atau front. Perang ini dikenal
sebagai perang generasi Keempat (Four Generation War), Perbedaan antara
situasi perang dan situasi damai menjadi kabur. Sulit membedakan antara pasukan
militer dan sipil. Aksi-aksi dapat dilakukan secara serentak, diam-diam dan
dapat mencakup suatu daerah yang luas. Perang Generasi keempat ini merupakan perpaduan dari politik, sosial, militer,
ekonomi bahkan budaya sebagai sarana yang bertujuan utama untuk mengalahkan wilayah
Negara atau mematahkan semangat pihak lawan.
Dalam menghadapi tantangan tugas TNI kedepan yang
lebih massif serta untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, maka TNI perlu melakukan langkah konkrit terhadap perubahan konsep lama yang lebih mengedepankan
pendekatan konvensional kepada konsep baru yang lebih komprehensif. Untuk itu
diperlukan usaha-usaha guna meningkatkan kemampuan dalam sistim pertahanan
negara melalui pertahanan wilayah, sehingga sekalipun terjadi ancaman terhadap
kedaulatan bangsa dan keutuhan wilayah negara Republik Indonesia, maka NKRI
akan tetap berdiri tegak dan utuh. Peningkatan pertahanan negara tersebut dapat
dilakukan melalui upaya peningkatan pertahanan wilayah-wilayah di Indonesia
yang salah satu diantaranya adalah mengoptimalkan daerah pangkal perlawanan.
Daerah pangkal perlawanan merupakan bagian tertentu dari satu ruang atau
wilayah pertahanan yang telah dipilih dan dipersiapkan sebagai pusat kegiatan
atau pusat pengendalian perlawanan terhadap musuh maupun lawan, terutama dalam
rangka pelaksanaan perang berlarut.
Sitem pertahanan perang gerilya yang dibentuk bila
dihadapkan dengan perkembangan kehidupan sosial masyarakat yang
lebih modern, menuntut pengembangan sistim pertahanan yang lebih dinamis dan
dapat diterima oleh masyarakat dalam rangka menghadapi ancaman maupun invasi
musuh. Daerah pangkal perlawan merupakan langkah strategis yang dimiliki TNI-AD
perlu dikaji dan dikembangan lagi agar dapat menyesuaikan dengan situasi dan
kondisi bangsa Indonesia saat ini melalui aksentuasi seluruh komponen dalam
daerah pangkal perlawanan. Bertolak
dari kondisi nyata di atas. Kondisi daerah pangkal perlawanan dewasa
ini masih memerlukan peningkatan dari semua elemen pendukung daerah tersebut,
baik oleh Instansi Militer, Pemerintah Daerah setempat maupun masyarakat di
wilayah dimana Daerah Pangkal Perlawanan itu berada. Tulisan ini ingin mengupas masalah daerah pangkal
perlawanan yang merupakan mata rantai penyelenggaraan operasi teritorial
diseluruh wilayah binaan Satuan komando kewilayahan.
Penelitian
ini merupakan jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode empiris, penalaran
deduktif dan induktif serta interpretasi dalam rangka pelaksanaan pembangunan
di daerah yang belum secara sinergis dilakukan terhadap fungsi pertahanan
wilayah termasuk daerah pangkal perlawanan. Agar dioptimalkan di masa mendatang melalui
pelaksanaan pembangunan fisik, penataan organisasi militer baik dari segi
kualitas maupun kuantitas personel, serta pembinaan masyarakat. Pertanyaan diajukan adalah Bagaimana penyiapan daerah pangkal perlawanan? Apa pentingnya daerah pangkal perlawanan? Dan apa Kriteria keberhasilan penyiapan
daerah pangkal perlawanan tersebut?
Tinjauan Teoritik
Upaya
pembentukan sistem pertahanan dan keamanan nasional yang melibatkan elemen
rakyat sebagai sistem cadangan kekuatan pertahanan di Indonesia, mempunyai
kedudukan yang tak kalah pentingnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Sitim pertahanan pada saat
perang kemerdekaan yang telah teruji mencerminkan sistim pertahanan semesta (Sishanta) yang diselenggarakan TNI saat
ini. Wehrkreise atau
kantung-kantung perlawanan sebagai pusat komando terus dikembangkan dan
ditingkatkan kemampuannya oleh TNI dimana konsep pembentukan kantung-kantung
perlawanan diarahkan guna mewujudkan Daerah pangkal perlawanan yang dibentuk
dan disiapkan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, didalamnya terhimpun kekuatan militer,
Ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta pemerintahan.
Wehrkreise
( bahasa jerman berarti ; “Lingkaran Pertahanan”) memilik arti lingkungan
pertahanan atau pertahanan daerah melingkar yang berlapis. Sistim ini dipakai Tentara Nasional Indonesia untuk
mempertahankan setiap wilayah kepulauan, keresidenan maupun propinsi, yang
dipimpin oleh seorang komandan distrik militer. Masing-masing komandan diberi
kebebasan seluas-luasnya untuk menggelar dan mengembangkan perlawanan. Wilayah
Wehrkreise adalah satu keresidenan (atau disebut Kabupaten saat ini),
didalamnya terhimpun kekuatan militer, politik, ekonomi, pendidikan, dan
pemerintahan. Sistem Wehrkreise sama sekali meninggalkan sistem pertahanan
linier yang pada hakekatnya dilaksanakan untuk melindungi pemerintahan agar
tetap berjalan dan perlawanan terhadap setiap ancaman dapat terselenggara
secara semesta.
Jendral
Soedirman
bersama dengan para pemikir militer dalam Markas Besar TNI, seperti T.B. Simatupang dan
A.H. Nasution, kemudian berusaha menyusun
rencana baru dan akhirnya menemukan strategi Wehrkreise—kantung kantung
perlawanan yang merupakan adaptasi dari sistem serupa yang diterapkan Jerman
dalam Perang Dunia II. Sistem Wehrkreise ini
kemudian disahkan penggunaannya dalam Surat Perintah
Siasat No.1, yang ditandatangani oleh Panglima Besar
Soedirman pada bulan November 1948.
Wehrkreise atau kantung kantung perlawanan tersebut saat ini dikenal sebagai
Daerah Pangkal Perlawanan.
Daerah pangkal perlawanan Satuan komando kewilayahan
merupakan pertahanan berlapis yang dibentuk berdasarkan rencana Umum Tata Ruang
Wilayah pertahanan darat, dengan klasifikasi daerah yang terdiri dari Daerah
Pangkal perlawanan, Daerah belakang, Daerah komunikasi serta Daerah tempur
sedangkan dalam buku Petunjuk Lapangan tentang Operasi Gerilya, Keberadaan
daerah tersebut merupakan sasaran binter Satuan komando kewilayahan dan
jajarannya, serta kodim BS dalam menyelenggarakan Binter diwilayahnya melalui
sistim perencanaan dan pngendalian Binter ( Sisrendal
Binter) untuk disiapkan dan dibina
agar dapat menjadi ruang perlawanan gerilya. (Bujukops tentang binter
nomor Perkasad/ 74 /X/ 2009 tanggal 23 oktober 2009). RUTR…..
Tugas
pokok TNI khususnya TNI-AD dijelaskan dalam UU no 34 tahun 2004 tentang TNI
yaitu untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah,
Negara Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari
setiap ancaman. Dengan terbentuknya Undang-undang RI No 3 Tahun 2002 tentang
pertahanan negara serta Undang-undang TNI no 34 tahun 2004 tentang TNI, membawa harapan baru bagi sistem pertahanan
negara di Indonesia, yang secara substansial mengamanatkan kepada seluruh
komponen bangsa untuk berperan serta dan ikut berpartisipasi aktif dalam proses
mewujudkan pertahanan negara yang tangguh dan menempatkan Tentara Nasional
Indonesia sebagai komponen utama dengan dibantu oleh komponen cadangan dan
komponen pendukung.
Berdasarkan doktrin KEP (Kartika Eka Paksi) Pembinaan Teritorial merupakan fungsi
utama TNI-AD disamping pertempur dan pembinaan kekuatan sebagai fungsi lainnya.
Satuan komando kewilayahan bertugas untuk mensosialisasikan konsep ketahanan
nasional kepada masyarakat yang dilakukan melalui Binter secara bertahap,
bertingkat dan berlanjut. dengan metode Komunikasi sosial, bakti TNI, fisik dan
non fisik serta pembinaan ketahanan
wilayah. Astagatra meliputi gatra sosial
didalamnya merupakan suatu kondisi yang didayagunakan menjadi suatu kekuatan
untuk mendukung daerah pangkal
perlawanan sebagai tempat bagi command
control atau pusat kendali. Sisrendal binter (Sistim perencanaan
pengendalian pembinaan teritorial) diselenggarakan dalam rangka mencapai
sasaran Binter yakni Ruang, Alat dan Kondisi juang serta kemanunggalan
TNI-Rakyat. Seluruh komponen dan aspek kehidupan didalamnya disiapkan guna
mengahadapi perang berlarut serta ancaman asimetris (Asymmetric Threats) atau
ancaman non linier.
Rumusan Masalah
Sistim
pertahanan semesta sebagai sistim pertahanan yang berlaku di Negara kesatuan
Republik Indonesia merupakan sitim pertahanan dengan melibatkan rakyat sebagai
komponen cadangan dan pendukung, akan tetapi dalam implementasinya secara utuh
belum tersosialisasikan kepada masyarakat. Melihat penyelenggaraan daerah
pangkal perlawanan saat ini tampaknya belum memenuhi harapan, demikian pula
dengan potensi dukungan pertahanan yang merupakan salah satu aspek penting
dalam pertahanan semesta, belum didayagunakan secara optimal sebagai akibat
dari belum sinkronnya kebijakan dan strategi pertahanan yang ada dengan
kebijakan pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari belum sinkronnya RUTR
Wilayah pertahanan dengan RTRW pemerintah daerah. Klasifikasi daerah dalam
penyelenggaraan operasi gerilya yang seharusnya dibina untuk membentuk Daerah
perlawanan, pada kenyataannya belum terselenggara dengan baik. Binter yang secara eksplisit mengamanatkan akan
penguatan serta pemanfaatan wilayah, tampaknya masih berhadapan dengan kendala keterbatasan
penataan organisasi militer baik dari segi kualitas serta peningkatan kemampuan
aparat komando kewilayahan dalam rangka pembinaan teritorial, pembangunan
fisik, maupun kuantitas personel
Bagaimana
penyiapan daerah pangkal perlawanan?
“Si vis pacem, para bellum (“Jika kau
mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang“) adalah sebuah Peribahasa Latin”.
Ide pokok perkataan ini sudah ditemukan pada
Undang-undang VIII (Νόμοι 4) Plato 347 SM dan Epaminondas 5 Cornelius Nepos. Kemudian muncul dari perkataan Flavius Vegetius Renatus
sekitar tahun 400 M di dalam kata pengantar De re militari: “Qui
desiderat pacem, bellum praeparat“(“Siapa menginginkan perdamaian ,
bersiaplah untuk perang“). Biasanya ditafsirkan sebagai perdamaian melalui
kekuatan, dimana Negara yang kuat akan kecil kemungkinanannya untuk diserang
oleh pihak lawan atau musuh. Napoleon
Bonaparte mengartikan sebagai persiapan untuk perang, bila anda berencana
untuk perang maka anda harus membuat Negara lain lengah dengan memupuk
perdamaian (Si vis bellum para pacem). Sebaliknya, interpretasi lain mengatakan bahwa mempersiapkan
perdamaian dapat menyebabkan pihak lain untuk berperang pada Anda (Si
vis pacem para pactum)
|
Perang selalu ada disekitar kita. Esensinya yang
berwujud pemaksaaan kehendak suatu pihak kepada pihak lain akan selalu terjadi,
walau strategi, taktik, dan logistiknya akan berubah sesuai dengan kemajuan
zaman. Persenjataan perang dewasa ini sudah semakin kompleks, dalam arti selain
penggunaan jenis senjata yang berbasis teknologi perang, yang disebut sebagai hard
power, juga sudah mulai digunakan pengaruh kuat terhadap pihak lain, dalam
bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya, sebagai jenis senjata baru yang
tidak mudah dikenal sebagai senjata untuk perang, yang disebut soft power.
Setiap bangsa yang ingin tetap berlangsung hidup selain harus selalu siap
perang, juga harus tanggap dengan perkembangan berbagai jenis senjata ini.
Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, damai dan perang
merupakan bagian dari kehidupan kita.
Adanya tantangan diatas mendorong TNI untuk
melakukan penanganan masalah pertahanan dengan pendekatan yang lebih
komprehensif dan integratif. Konsep sistim
pertahanan Negara yang bersifat semesta (Sishanta) merupakan salah satu strategi perang yang
dimiliki TNI dengan mendayagunakan serta melibatkan
seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, yang
dipersiapkan secara dini oleh Pemerintah, secara total, terpadu, terarah dan
berlanjut agar diperoleh
kekuatan daya tempur optimal untuk melawan penjajah yang memiliki
kekuatan persenjataan militer diluar kemampuan tradisionil bangsa Indonesia, untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan
wilayah serta keselamatan segenap bangsa dari segala macam bentuk ancaman.
Hakikat ancaman yang beragam dan kompleks
antara ancaman militer dan ancaman nirmiliter semakin disadari bahwa pertahanan
negara tidak cukup didekati dari aspek militer semata. Pendekatan pertahanan negara
ke depan memerlukan pendekatan secara nirmiliter yang terpadu dengan pendekatan
secara militer. Dengan demikian, pembangunan pertahanan militer dan nirmiliter
harus dilaksanakan secara bersama-sama sehingga menghasilkan suatu kekuatan dan
kemampuan pertahanan negara yang memiliki efek penangkalan dan efek penggentar Deterent effect dalam menjaga
eksistensi dan keutuhan NKRI.
Juwono
Sudarsono dalam makalah yang dibacakan Dirjen Sarana Pertahanan Dephan, Marsda
TNI Eris Herianto,di Medan. pada Forum Komunikasi (Forkom) Litbang Pertahanan
yang diadakan di Kampus Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan. Mengatakan bahwa kemampuan pertahanan tidak
hanya ditentukan oleh dukungan pertahanan militer saja, namun juga melalui
kemampuan non militer yang secara signifikan berpengaruh terhadap kemampuan
alat utama sistem pertahanan (alutsista). Ia mengatakan, keterpaduan antara
pertahanan militer dan non militer dibangun untuk menangkal, mencegah, menindak
dan meniadakan setiap ancaman. "Pertahanan militer yang merupakan
pertahanan bersenjata dilaksanakan dengan mengoptimalkan kekuatan TNI sebagai
komponen utama dan didukung oleh komponen cadangan dan komponen
pendukung," katanya menegaskan.
Sedangkan
pertahanan non militer dilaksanakan melalui pemberdayaan segenap rakyat dan
sumber daya nasional lainnya dalam rangka kesejahteraan masyarakat yang
berkeadilan, sehingga memiliki daya tangkal bangsa. Menurut dia, tidak dapat
dipungkiri bahwa ancaman pada saat ini tidak hanya berupa ancaman terhadap
kedaulatan, namun juga terhadap kesejahteraan. Kedua sisi ancaman ini saling
mempengaruhi, sehingga terancamnya kedaulatan negara akan mengancam pula
kehidupan kesejahteraan, demikian pula sebaliknya. "Untuk itu, dalam
menghadapi ancaman tersebut diperlukan integritas pembangunan kemampuan
pertahanan melalui pemberdayaan unsur-unsur pertahanan militer serta
unsur-unsur pertahanan non militer," katanya. Sumber : Antara
Berangkat dari permasalahan tersebut diatas serta
untuk mendukung pelaksanaan pertahanan negara, maka perlu adanya upaya nyata
TNI untuk mengembangkan diri, melalui peningkatan kembali unsur pelaksana
Komando Kewilayahan sebagai ujung tombak TNI dalam rangka mendukung pelaksanaan
Pemberdayaan Wilayah Pertahanan di daerah tanggungjawabnya melalui pemberdayaan
daerah Pangkal Perlawanan. Apabila ancaman aktual berupa ancaman
militer yang karakteristiknya memerlukan penanganan melalui OMP (Operasi
Militer Perang), maka lapis pertahanan militer didayagunakan sebagai inti
kekuatan yang bersifat semesta. Dalam hal ini lapis pertahanan militer yang
berintikan komponen utama, didukung oleh komponen cadangan dan komponen
pendukung, di samping disokong oleh lapis pertahanan nirmiliter yang
melaksanakan fungsi-fungsi diplomasi serta upaya-upaya lain dalam bentuk
perlawanan tidak bersenjata Selain
lebih efektif dengan memberdayakan kekuatan masyarakat dan letak geografis
wilayah, juga meminimalisir jatuhnya korban di pihak sipil, “dengan menghindari
konfrontasi fisik dalam skala luas.
Memberdayakan
wilayah pertahanan menurut UU no 34 tentang TNI adalah membantu pemerintah
menyiapkan potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan yang dipersiapkan
secara dini, melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional
lainnya, serta diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut
meliputi wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya, membantu pemerintah
menyelenggarakan pelatihan dasar kemiliteran secara wajib bagi warga negara
sesuai peraturan perundang-undangan, dan membantu pemerintah memberdayakan
rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Tugas memberdayakan wilayah pertahanan ini
berlangsung di daerah-daerah dan dilaksanakan oleh semua kekuatan TNI dalam
bentuk komando kewilayahan (kowil), seperti Kodam dan jajarannya sampai tingkat
bawah yakni koramil. Hal tersebut tentunya senada dengan dengan tugas
pemerintah di daerah dalam menyiapkan potensi daerah menjadi kekuatan
pertahanan sebagaimana amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang pelaksanaannya saling terkait antardepartemen. Tugas pemberdayaan
wilayah pertahanan, baik di darat, laut, maupun udara, diarahkan untuk
menunjang fungsi pertahanan dan keamanan, serta mendukung pemerintah dalam
penataan wilayah yang diorientasikan guna mencapai kesejahteraan melalui
pendekatan secara nirmiliter yang terpadu dengan pendekatan secara militer.
Daerah
Pangkal Perlawanan menurut buku pedoman tentang peran koter dalam penyiapan,
didefenisikan sebagai bagian tertentu dari suatu wilayah yang telah dipilih dan
dipersiapkan serta didayagunakan secara efektif sebagai pusat kegiatan atau
pusat pengendalian perlawanan terhadap musuh, yang dengan mudah dapat
dikembangkan menjadi daerah perlawanan dan komando pengendalian maupun sebagai
basis untuk menunjang operasi yang diselenggarakan diwilayah tersebut, terutama
sekali dalam rangka pelaksanaan perang berlarut sesuai doktrin Hanrata. (Buku
Pedoman tentang peran Koter dalam penyiapan rahkalwan Sterad tahun 2002 hal 3).
Daerah pangkal perlawanan juga merupakan mata rantai penyelenggaraan operasi
Komando Resor Militer (Korem) diseluruh daerahnya yang dipersiapkan dan
dibentuk sesuai rencana operasi pertahanan kodam sehingga dalam pelaksanaannya
berimplikasi kepada seluruh wilayah pemerintahan dari pusat sampai ke daerah
guna mempertahankan eksistensi pemerintah.
Apa pentingnya daerah pangkal perlawanan?
Daerah pangkal perlawanan
merupakan strategi TNI-AD dalam rangka menghadapi ancaman asymetris, (Asymmetric
threat), Perang berlarut maupun
perang generasi keempat (Fourth Generation War). Daerah pangkal perlawanan sebagai bagian dari
system pertahanan semesta (Sishanta) adalah ujung tombak pertahanan wilayah
yang tersebar diseluruh wilayah NKRI dalam gelar kekuatan TNI. Kegiatan yang
dilaksanakan ialah melakukan pemberdayaan wilayah pertahanan sesuai UU No
2/2002 dan no34/2004 yang dilaksanakan melalui pembinaan teritorial meliputi
pembinaan Geografi, Demografi dan Kondisi sosial agar menjadi RAK Juang yang
tangguh (Ruang, Alat, Kondisi juang) serta kemanunggalan TNI-Rakyat guna
mewujudkan pertahanan Negara. Geografi, Demografi dan Kondisi sosial sebagai
kekuatan disiapkan, dibina serta didayagunakan sebagai penangkal, penindak terhadap
ancaman dari dalam dan luar negri serta pemulih terhadap kondisi keamanan
Negara.
Geography as a force
(Geografi sebagai kekuatan). Unsur kedaulatan dan keutuhan wilayah adalah
bagian dari kepentingan pertahanan negara. Penguasaan geografi secara utuh
sesuai dengan sifat, bentuk dan dinamikanya akan menjamin kedaulatan yang utuh
pula. Dengan kata lain dalam mengimplementasikan kepentingan pertahanan negara
untuk mendukung kepentingan nasional, harus dilandasi pemahaman tentang realita
kondisi geografis, agar kapabilitas pertahanan mendapatkan pijakan yang kuat. Kekuatan
Geografi dalam daerah pangkal perlawanan, harus membentuk kompartemen daerah
yang agar dapat menentukan (a) berapa sumber daya yang ada padanya; (b) sumber
mana yang memerlukan pembinaan serta pengembangan secara khusus; (c) apa yang
masih perlu diadakan dari luar kompartemen; dan (d) kompartemen lain yang dapat
membantu dan atau perlu dibantu. Komando kewilayahan menjadi relevan karena
merupakan bagian dari kompartemen strategis negara untuk mengembangkan ruang,
alat dan kondisi juang bagi pergelaran strategi perang di zona pertahanan
dalam.
Demography as a force
(Demografi sebagai kekuatan). Pembinaan unsur demografi dilaksanakan guna
memperoleh kekuatan demografi/penduduk melalui penilaian baik secara kualitatif
(fungsinya dalam masyarakat) maupun secara kuantitatif. Penilaian ini juga
diikuti dengan pengembangan empat komponen utama penyelenggaraan pertahanan
negara yaitu komponen perlawanan bersenjata, komponen Kamtibmas dan Linmas,
komponen urusan sipil (termasuk didalamnya aparatur pemerintahan sipil), dan
komponen produksi. Komando kewilayahan dalam fungsi pembinaan ini berperan
sebagai instrumen inti dari komponen perlawanan bersenjata. Instrumen inti dari
komponen-komponen lainnya adalah institusi sipil Departemen Pertahanan yang
berkewajiban untuk mengelola seluruh potensi sumber daya nasional yang dapat
dipergunakan untuk menyelenggarakan strategi pertahanan Negara melalui
mobilisasi.
Social Condition as a force
(Kondisi sosial sebagai kekuatan). Kondisi
sosial sebagai kekuatan negara, diwujudkan melalui pemmbinaan ketahanan mental
rakyat yang meliputi aspek-aspek idelogi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Fungsi TNI ialah membantu pemerintah dalam upaya penyelenggaraan ketahanan
kondisi sosial bangsa yang merupakan cita-cita ideal masa depan bangsa.
Sebagai cita-cita, maka kondisi sosial akan menjadi sesuatu kekuatan penggerak
terhadap apa yang diperjuangkan serta melahirkan semangat berjuang dan kerelaan
untuk berkorban. Betapa besar kekuatan ketahanan kondisi sosial bangsa dalam menggerakkan
kekuatan seluruh rakyat, hal ini dapat dilihat saat bangsa ini berjuang,
berperang melawan penjajah untuk merebut kemerdekaannya.
Setiap orang atas kecintaannya terhadap tanah air, bersedia mengorbankan
kepentingan individu, kelompok, suku dan kedaerahan untuk membela bangsanya.
Bahkan mereka mau melepaskan apa saja yang mereka miliki untuk kepentingan
bangsanya, tanpa peduli apa yang akan diperolehnya kemudian. Kekuatan
kondisi sosial tersebut harus selalu dipelihara dan digelorakan oleh seluruh
pemimpin, di semua tingkat yang ada. Menyatukan seluruh komponen
bangsa serta sekaligus menjadi kekuatan untuk mengatasi setiap
ancaman agar tidak tumbuh dan berkembang serta tidak kehilangan arah dan
orientasi yang dapat melahirkan konflik maupun berbagai penyimpangan yang tentu
tidak mudah diberantas.
Dan
apa Kriteria keberhasilan penyiapan daerah pangkal perlawanan tersebut?
Aksentuasi aspek Geografi ;
Melihat
lebih teliti mengenai definisi Daerah pangkal perlawanan berdasarkan teori
teritorial tersebut, maka Daerah pangkal perlawanan dapat dikategorikan sebagai
suatu tempat bagi penyelenggaraan Command
Control atau pusat kendali terhadap penyelenggaraan perang gerilya dalam
rangka perang berlarut. Dengan dasar
pertimbangan strategis tersebut maka posisi Daerah pangkal perlawanan secara
ideal harus terletak dan terlindungi dalam suatu Inner Cycle yang Affordable
to Defence. Artinya bahwa posisinya sebagai pusat kendali gerilya.dapat
terlindungi dari berbagai aspek sehingga tidak mudah bagi pihak lawan untuk
merebut dan menguasainya. Disamping itu daerah pangkal perlawanan juga harus
didukung dengan fasilitas yang memungkinkan dalam upaya mempertahankannya dari
kemungkinan penguasaan oleh pihak lawan, hal ini ditinjau berdasarkan pertimbangan
letak keadaan atau potensi yang dikandung oleh daerah serta niat untuk
menguasai Sumber daya alam (SDA), Sumber daya buatan (SDB), sumber daya manusia
(SDM) maupun teknologi yang dapat didayagunakan untuk kepentingan musuh.
Kegiatan
Command Control atau komando
pengendalian dalam daerah pangkal perlawanan diselenggarakan dalam rangka
pengendalian kekuatan aspek geografi, demografi dan kondisi sosial wilayah
pertahanan. Ruang lingkup kegiatan yang dilaksanakan adalah menghimpun daya
tempur, daya intelijen, daya teritorial dan daya wilayah pada umumnya. Daerah
tersebut juga merupakan pusat operasi gerilya dimana kegiatan akan dilancarkan,
tempat penyusunan kekuatan, konsolidasi, istirahat dan penimbunan barang-barang
logistik. Selain itu juga dilaksanakan kegiatan pembinaan teritorial yang
didukung operasi intelijen dalam rangka mencegah penyusupan intelijen musuh dan
penyiapan secara dini dukungan-dukungan operasi tempur bila sewaktu-waktu
diperlukan. Berdasarkan buku petunjuk induk tentang pembinaan teritorial, bahwa
daerah pangkal perlawanan merupakan bagian dari sasaran pokok Binter, dengan
demikian maka untuk mencapai sasaran tersebut dalam tahap perencanaan harus
melalui sistim perencanaan dan pengendalian pembinaan teritorial atau
Sisrendalbinter (Buku petunjuk induk tentang pembinaan teritorial nomor :
05-01)
Sumber
daya nasional sebagai potensi pertahanan dan pembentuk kekuatan bangsa, perlu dibina
dan dipersiapkan ke arah transformasi kekuatan pertahanan, guna meningkatkan
efek penggentar (Deterence Effect), dan penyiapannya sebagai
elemen kekuatan bersama antara
sipil-militer dalam bangun sistem kekuatan diplomasi menghadapi ancaman
nonmiliter. Perimbangan dukungan strategis yang semula dianggap sebagai tugas
militer dapat diberdayakan dan diemban oleh sektor-sektor lain yang lebih
esensial dalam mewujudkan kesejahteraan. Untuk itu upaya memvitalkan kembali
penguatan kapabilitas pertahanan yang mengalami degradasi, dilakukan dengan
menguatkan militer secara khusus dan pertahanan Negara secara umum. Dengan
demikian pembinaan potensi pertahanan secara proporsional akan berdimensi ganda.
Pertama mengaksentuasi penguatan militer menghadapi ancaman militer, dan kedua
mengintegrasikan unsur lain kekuatan bangsa ke dalam kapabilitas sistem
pertahanan negara dalam bentuk kekuatan diplomasi untuk menghadapi ancaman
nonmiliter. Dengan perspektif dua dimensi ini, maka terdapat aksentuasi kuat
kebutuhan pertahanan, yang dalam segi anggaran akan menguatkan kesejajaran
fungsi pertahanan layaknya fungsi pemerintah yang lain. Untuk mewujudkan bangun kekuatan menghadapi ancaman nonmiliter itu, berdasarkan
Pasal 9 Undang-Undang no 3/2002 yang mengatur hak dan kewajiban bela negara
bagi seluruh warga negara. Dengan memadukan kualitas bela negara seluruh warga
negara, resultante hasil yang dipadukan dengan kekuatan militer, akan menjadi
kekuatan diplomasi, cadangan dan pendukung.
Aksentuasi aspek Demografi;
Aksentuasi
unsur demografi secara kualitatif dilaksanakan guna memperoleh potensi
demografi yang berkualitas sesuai tugas fungsinya dalam masyarakat melalui
pembinaan Tenaga professional, Tenaga ahli, Tenaga pendidik, Tokoh masyarakat,
Tokoh agama dan Tokoh adat yang memiliki wawasan kebangsaan sehingga tercapai
potensi demografi secara kuantitatif untuk
diarahkan dalam rangka mencapai ketahanan nasional. Penguatan ini juga
diikuti dengan pengembangan empat komponen utama penyelenggaraan pertahanan
negara yaitu komponen perlawanan bersenjata, komponen Kamtibmas dan Linmas,
komponen urusan sipil (termasuk didalamnya aparatur pemerintahan sipil), dan
komponen produksi. Satkowil berperan sebagai instrumen inti dari komponen
perlawanan bersenjata. Departemen Pertahanan
berkewajiban untuk mengelola seluruh potensi sumber daya nasional yang
dapat dipergunakan untuk menyelenggarakan strategi pertahanan Negara melalui
mobilisasi.
Aksentuasi aspek Kondisi Sosial ;
Penguasaan daerah, baik oleh pasukan
gerilya maupun musuh mempunyai pengaruh yang sama dan masyarakat merupakan
obyek perebutan pengaruh. Kerawanan dalam bidang kehidupan masyarakat yang ada
pada masa sebelum perang seperti perselisihan antar kelompok masyarakat terhadap
politik negara, masalah kesejahteraan, sosial ekonomi, ketegangan-ketegangan
yang timbul dari perasaan yang tidak puas terhadap pemerintah serta kepentingan
yang bersifat pribadi dari perorangan akan dimanfaatkan oleh pihak musuh.
Masyarakat
terdiri dari sejumlah manusia yang telah hidup bersama dan mereka menciptakan
berbagai peraturan pergaulan hidup membentuk kebudayaan, dimana setiap anggota
masyarakat merasa dirinya masing-masing terikat dengan kelompoknya. Adapun
Pembinaan teritorial yang perlu dilakukan ialah dengan cara empati sehingga
memiliki makna subyektif bagi pelakunya (merasa sama atau senasib
sepenanggungan dengan orang lain), dia harus dapat menempatkan dirinya dalam
posisi pelaku untuk dapat menghayati pengalamannya dalam mewujudkan tindakan
sosial yang diharapkan sebagai implementasi dari fakta sosial (Max weber).
Fakta sosial merupakan pola-pola atau sistim yang mempengaruhi cara masyarakat
untuk bertindak, berpikiran dan merasa yang dituangkan kedalam aturan (Emile
Durkheim). Fakta sosial berada diluar individu dan mempunyai kekuatan memaksa
untuk mengendalikan individu tersebut. Berdasarkan fakta sosial itu dapat
ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh.Dengan metode ilmiah
yang tepat (penelitian berulang kali, penjelasan yang teliti, dan perumusan
teori berdasarkan pembuktian), sehingga dapat diambil langkah konsepsional guna
pembinaan masyarakat diwilayah.
Aksentuasi kepemimpinan nasional ditujukan dalam
rangka membina dan membangun pertahanan
dalam kehidupan masyarakat modern, sehingga diperlukan kepemimpinan
nasional yang kuat dan berwibawa, dimana untuk mendukung hal tersebut
ditentukan oleh banyak faktor, yaitu: Pribadi (moral, akhlak, semangat, dan
akuntabilitas) serta komitmen yang kuat dari
pemimpin-pemimpin Bangsa. Tujuan Nasional, yang selalu berintikan Falsafah Negara,
merupakan unsur Pengarah, Pemersatu, Pemberi Motivasi dan merupakan salah satu
Identitas Nasional. Nilai-nilai Sosial Budaya, keadaan Sosial (masyarakat),
Sistem Politik dan Ilmu Pengetahuan. Kepribadian Nasional,
merupakan hasil perkembangan Sejarah dan cita-cita bangsa yang dirumuskan
sebagai dasar kehidupan bangsa. Kepribadian ini perlu dipupuk, dibina dan
dimasyarakatkan pada setiap generasi, karena kepribadian nasional ini merupakan
daya tangkal yang sangat strategis untuk menghadapi tantangan dari pengaruh
asing, maupun pengaruh dari dalam, seperti Terorisme, dll.
Empat pilar bangsa yakni Pancasila, UUD 45, NKRI dan
Bhineka Tunggal Ika, yang berfungsi sebagai fondasi dan perekat bangsa. Pancasila
adalah penyaring (filter) dan dari Pancasila lahirlah ketiga pilar
lainnya. Pancasila sebagai Ideologi
bangsa Indonesia, merupakan aksentuasi dan modal sosial bangsa, dapat
ditunjukan dari fakta bahwa Pancasila sudah menjadi bagian dari sejarah
Indonesia, bahkan lebih dari itu, Pancasila juga membuat Indonesia ada, dan
besar peluang untuk membantu bangsa yang majemuk ini tetap bertahan serta
berkembang sampai waktu yang lama. Pancasila merupakan nalar masyarakat yang
mengandung nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan masuk akal. Kebebasan sebagai
anggota warga Negara yang bebas serta menganggap orang lain juga bebas, setara
dan masuk akal. Bukan karena dominasi, manipulasi ataupun karena tekanan paksa
akibat posisi sosial yang lebih rendah Inferior
melainkan disebabkan oleh adanya keyakinan untuk mencapai tujuan bersama.
Ideology Pancasila adalah penting untuk dipahami oleh segenap anak bangsa
sebagai pedoman dan pandangan hidup bagi seluruh warga Indonesia dalam
menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga pengetahuan tentang
Pancasila merupakan prioritas dalam setiap pembinaan teritorial di wilayah.
Aksentuasi
Ruang, Alat serta bidang kehidupan sosial bangsa Indonesia dalam Daerah pangkal
perlawanan dibagi dalam 8 (Delapan) kelompok gatra/model bidang kehidupan.
Kedelapan gatra tersebut (Astagatra) dibagi dalam dua kelompok, yaitu Trigatra
(geografi, sumber kekayaan alam, dan demografi) dan Pancagatra (ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam). Model bidang kehidupan tersebut dapat
dibedakan secara teoretik tetapi tidak bisa dipisahkan karena keterkaitan yang
kuat satu sama lain. Oleh karena itu, astagatra ini harus dilihat secara
holistik dan integral (bulat utuh menyeluruh). Trigatra bersifat statis dan
Pancagatra bersifat dinamis. Trigatra merupakan modal dasar untuk meningkatkan
Pancagatra. Pancagatra atau gatra sosial terdiri dari aspek-aspek kehidupan
sosial yang menyangkut kehidupan dan pergaulan hidup manusia dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan ikatan-ikatan, aturan-aturan dan
norma-norma tertentu. Gatra Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Pertahanan dan Keamanan. Kelima gatra Sosial tersebut mengandung
unsur-unsur yang bersifat dinamis serta memiliki korelasi antara gatra yang
satu dengan gatra yang lain. Kelemahan di dalam satu gatra dapat mempengaruhi
gatra yang lain demikian juga sebaliknya, meningkatnya kekuatan pada salah satu
gatra dapat meningkatkan gatra yang lain (sinergi). Ancaman, gangguan, hambatan
dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia selalu ditujukan pada kelima
gatra Sosial. Oleh karena itu penanggulangannya adalah dengan upaya
meningkatkan ketahanan secara utuh menyeluruh dan terpadu. Kualitas Pancagatra
dalam kehidupan nasional Indonesia dalam interaksinya dengan Trigatra
mencerminkan tingkat Ketahanan Nasional Indonesia.
Pembinaan
kondisi sosial wilayah melalui binter dapat dilihat dari berbagai
problematikanya, diperlukan gagasan-gagasan orisinil yang justru problem
solvingnya dari sudut pandang sosiologis sebab permasalahan sosial tidak mudah
di selesaikan dengan sekedar jargon politik semata. Tetapi, diperlukan kerja
sosial yang berbasis sosial-budaya yang sangat heterogen. Masyarakat daerah
yang serba plural perlu dicarikan formulanya yang melibatkan para ahli diberbagai
bidang. Mulai "hulu" (pemerintah) sampai "hilir" (rakyat)
dimanapun berada, membuka ruang publik komunikasi sosial untuk meretas
sekat-sekat psikologis yang sudah lama mengkristal. Dengan demikian, fungsi
peran-peran social-control seperti
yang dikemukakan Paul B.Horton dan C.L.Hunt (1993:176). Pengendalian sosial (social control) adalah, untuk
menggambarkan segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang atau
masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan kelompok
atau masyarakat sehingga dapat menjadi pengendali sosial yang sesuai dengan
harapan berbagai elemen bangsa, kalau menghendaki adanya social order (ketertiban sosial). Memang proses penyelarasan main-stream ke berbagai kalangan tidak
semudah membalik tangan, tapi itulah uji kelayakan seorang pemimpin atau aparat
komando kewilayahan yang mumpuni.
Dalam
gelar Operasi Teritorial, maka Paradigma
Satuan Teritorial harus bersifat dinamis, yaitu dapat mengikuti
perkembangan jaman agar dapat berperan serta menarik hati rakyat di era saat
ini. Satuan komando kewilayahan harus berfikir dan berinovasi survive terhadap apa kebutuhan masyarakat,
terutama generasi muda agar tidak terpengaruh oleh pihak insurjen. Peran Satuan
kewilayahan harus sesuai dengan perkembangan jaman dan sesuai sasaran. Sehingga
perubahan pada konsep Binter menjadi tolok ukur akan berdampak pada perubahan
gelar Operasi Tertorial yang dilaksanakan pada masa pra-insurjensi (sebelum
insurjensi terjadi), masa insurjensi dan masa pasca insurjensi (pemulihan
kamtibmas). Satuan komando kewilayahan serta babinsa harus lebih profesional
dan mampu menganalisis setiap ancaman, baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri yang dapat meruntuhkan pemerintah dan kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Aksentuasi kualitas maupun kuantitas satuan komando
kewilayahan dilaksanakan melalui pendidikan dan latihan agar memiliki kemampuan
sesungguhnya, berinovasi praktis guna menimbulkan pemikiran berupa ide-ide
sosial kemasyarakatan yang mengarah kepada tata kehidupan sosial kepribadian
bangsa Indonesia. Menurut Locke, Ide
yang terdapat di benak manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman. Ia hadir
secara aposteriori. Pengenalan manusia terhadap seluruh pengalaman yang
dilaluinya (mencium, merasa mengecap dan mendengar) menjadi dasar bagi hadirnya
gagasan-gagasan sederhana sebagai pangkal tolak dari timbulnya gagasan rumit
yang disebut persepsi. Pengalamanlah yang menjadi dasar pengetahuan yang kita
kenal sebagai empirisme ( buku filsafat umum Prof. Dr.H Suhar AM, M.Ag hal 148
GP press). Adanya doktrin, teor-teori serta buku petunjuk tentang Binter, ilmu
sosial dan filsafat merupakan landasan kerja bagi aparat satkowil dalam
penyelenggaraan pembinaan teritorial diwilayahnya. Akan tetapi realita
dilapangan, kurangnya kemampuan, pengetahuan serta pengalaman anggota satkowil
dapat membatasi kemampuan, sehingga menimbulkan sikap skeptis. Maka tugas pimpinan ialah menumbuhkan
kepercayaan diri bagi anggota satkowil melalui pelaksanaan tugas binter
diwilayah secara benar agar anggota satkowil memiliki pengalaman Binter yang
dapat diterapkan dalam tugas-tugas binter selanjutnya.
Kesimpulan :
Terjadinya transformasi
paradigma ancaman yang selama ini bersifat konvensional menjadi pertahanan yang
lebih komprehensif dan lebih dinamis adalah akibat adanya perkembangan situasi
global, regional dan nasional saat ini
yang mengindikasikan adanya upaya intervensi negara berkembang dan
mengarah kepada terjadinya kompetisi ekonomi antar bangsa baik dalam lingkup
global maupun regional, yang dapat mengancam sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tantangan tersebut berupa ancaman
asimetris (Asymmetric Threats) atau ancaman non linier yang tidak mengenal
medan perang atau front dan dikenal sebagai perang generasi Keempat (Four
Generation War), dimana perbedaan antara situasi perang dan situasi damai
menjadi kabur yang menyerang aspek sosial politik suatu bangsa. Kerawanan dalam bidang kehidupan masyarakat yang ada
pada masa sebelum perang seperti perselisihan antar kelompok masyarakat
terhadap politik negara, masalah kesejahteraan, sosial ekonomi,
ketegangan-ketegangan yang timbul dari perasaan yang tidak puas terhadap
pemerintah serta kepentingan yang bersifat pribadi dari perorangan akan dapat
dimanfaatkan oleh pihak musuh. Tugas penyelenggaraan bidang Pertahanan
merupakan fungsi pemerintah. menurut UU TNI no 34/2004 TNI bertugas
melaksanakan pertahanan milter."Pertahanan militer merupakan pertahanan
bersenjata yang dilaksanakan dengan mengoptimalkan kekuatan TNI sebagai
komponen utama dan didukung oleh komponen cadangan dan komponen
pendukung," yang berfungsi sebagai
penangkal dan penindak setiap bentuk ancaman militer dan pemulih terhadap
terganggunya keamanan negara akibat kekacauan keamanan.
Daerah pangkal perlawanan merupakan bagian dari
pertahanan militer yang diberdayakan sebagai pusat operasi gerilya serta
dipersiapkan dan didayagunakan secara efektif sebagai pusat kegiatan atau pusat
pengendalian perlawanan terhadap musuh, yang dengan mudah dapat dikembangkan
menjadi daerah perlawanan dan komando pengendalian maupun sebagai basis untuk
menunjang operasi yang diselenggarakan diwilayah tersebut, meliputi operasi teritorial dibantu operasi intelijen
dan operasi tempur bila diperlukan untuk menunjang pengamanan terhadap
kemungkinan penerobosan musuh terutama sekali dalam rangka pelaksanaan
perang berlarut sehingga diperlukan upaya
peningkatan Pemberdayaan Wilayah Pertahanan dengan cara aksentuasi keadaan
geografi, demografi dan kondisi sosial agar menjadi kekuatan pertahanan yang
efektif serta adanya pendayagunaan sumber daya alam, sumber daya manusia,
sumber daya buatan dan sarana prasarana lainnya menjadi kemampuan cadangan dan
pendukung guna terwujudnya suatu kekuatan pertahanan Negara yang handal.
Aksentuasi daerah pangkal perlawanan dilakukan melalui
penguatan pemahaman segenap komponen di daerah pangkal perlawanan meliputi
komponen Masyarakat, Pemerintah daerah dan Satuan komando kewilayahan berkenan
pemberdayaan wilayah pertahanan melalui metode Bakti TNI, sosialisasi ketahanan
nasional sebagai wujud komunikasi sosial serta pembinaan ketahanan wilayah dan
bagaimana aktualisasinya di masyarakat melalui kebijakan pemerintah, agar
implementasinya dapat dilakukan secara sinergi dan berkesinambungan. Daerah
pangkal perlawanan serta kondisi Geografi, Demografi dan Kondisi sosial
didalamnya meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam merupakan
gatra penting yang perlu dibina menjadi kekuatan ruang alat dan kondisi (RAK)
juang yang tangguh serta kemanunggalan TNI-Rakyat yang diolah serta dianalisa dalam
sistim perencanaan dan pengendalian Binter terhadap Instansi Militer,
Pemerintah Daerah setempat maupun masyarakat di wilayah dimana Daerah Pangkal
Perlawanan itu berada. Adapun proses
perencanaan penataan, pengendalian dan pemanfaatan ruang dalam suatu Daerah
Pangkal Perlawanan, telah menjadi satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan
dalam Tata ruang wilayah pertahanan atau RTRW wilayah pertahanan yang disusun dengan perspektif kondisi masa depan,
bertolak dari data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat
dipakai serta memperhatikan keragaman wawasan kegiatan tiap sektor, lingkungan
hidup dan hakekat ancaman yang berkembang setiap waktu.
Untuk
membina dan membangun pertahanan dalam kehidupan masyarakat modern, diperlukan
kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa, melalui penguatan Pribadi
(moral, akhlak, semangat, dan akuntabilitas) dari pemimpin-pemimpin Bangsa serta
komitmen yang kuat, dirahkan guna mencapai Tujuan Nasional, yang
selalu berintikan Falsafah Negara, sebagai unsur Pengarah, Pemersatu,
Pemberi Motivasi dan merupakan salah satu Identitas Nasional. Nilai-nilai
Sosial Budaya, keadaan Sosial (masyarakat), Sistem Politik dan Ilmu
Pengetahuan. Kepribadian Nasional, merupakan hasil
perkembangan Sejarah dan cita-cita bangsa yang dirumuskan sebagai dasar
kehidupan bangsa.Kepribadian ini perlu dipupuk, dibina dan dimasyarakatkan pada
setiap generasi, karena kepribadian nasional ini merupakan daya tangkal yang
sangat strategis untuk menghadapi tantangan dari pengaruh asing, maupun
pengaruh dari dalam, seperti Terorisme, dll. Oleh karena itu penanggulangannya dilakukan melalui
upaya peningkatan komponen pertahanan secara utuh menyeluruh dan terpadu.
No comments:
Post a Comment