Friday, August 30, 2013

OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN WILAYAH PERTAHANAN MELALUI AKSENTUASI DAERAH PANGKAL PERLAWANAN GUNA PEMANTAPAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA


Perkembangan situasi Internasional, regional dan nasional saat ini, berimpikasi timbulnya isu globalisasi seperti demokratisasi, HAM dan lingkungan hidup yang dihembuskan oleh negara maju. Hal ini mengindikasikan adanya upaya intervensi terhadap negara berkembang yang mengarah kepada terjadinya kompetisi ekonomi antar bangsa baik dalam lingkup global maupun regional, yang dapat mengancam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bentuk ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini juga berkembang dan dapat berupa ancaman asimetris (Asymmetric Threats) atau ancaman non linier yang mencapai ekstrimnya, dimana tidak mengenal medan perang atau front. Perang ini dikenal sebagai perang generasi Keempat (Four Generation War), Perbedaan antara situasi perang dan situasi damai menjadi kabur. Sulit membedakan antara pasukan militer dan sipil. Aksi-aksi dapat dilakukan secara serentak, diam-diam dan dapat mencakup suatu daerah yang luas. Perang Generasi keempat ini merupakan perpaduan dari politik, sosial, militer, ekonomi bahkan budaya sebagai sarana yang bertujuan utama untuk mengalahkan wilayah Negara atau mematahkan semangat pihak lawan.
Dalam menghadapi tantangan tugas TNI kedepan yang lebih massif serta untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka TNI perlu melakukan langkah konkrit terhadap perubahan konsep lama yang lebih mengedepankan pendekatan konvensional kepada konsep baru yang lebih komprehensif. Untuk itu diperlukan usaha-usaha guna meningkatkan kemampuan dalam sistim pertahanan negara melalui pertahanan wilayah, sehingga sekalipun terjadi ancaman terhadap kedaulatan bangsa dan keutuhan wilayah negara Republik Indonesia, maka NKRI akan tetap berdiri tegak dan utuh. Peningkatan pertahanan negara tersebut dapat dilakukan melalui upaya peningkatan pertahanan wilayah-wilayah di Indonesia yang salah satu diantaranya adalah mengoptimalkan daerah pangkal perlawanan. Daerah pangkal perlawanan merupakan bagian tertentu dari satu ruang atau wilayah pertahanan yang telah dipilih dan dipersiapkan sebagai pusat kegiatan atau pusat pengendalian perlawanan terhadap musuh maupun lawan, terutama dalam rangka pelaksanaan perang berlarut.
Sitem pertahanan perang gerilya yang dibentuk bila dihadapkan dengan perkembangan kehidupan sosial masyarakat yang lebih modern, menuntut pengembangan sistim pertahanan yang lebih dinamis dan dapat diterima oleh masyarakat dalam rangka menghadapi ancaman maupun invasi musuh. Daerah pangkal perlawan merupakan langkah strategis yang dimiliki TNI-AD perlu dikaji dan dikembangan lagi agar dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia saat ini melalui aksentuasi seluruh komponen dalam daerah pangkal perlawanan. Bertolak dari kondisi nyata di atas. Kondisi daerah pangkal perlawanan dewasa ini masih memerlukan peningkatan dari semua elemen pendukung daerah tersebut, baik oleh Instansi Militer, Pemerintah Daerah setempat maupun masyarakat di wilayah dimana Daerah Pangkal Perlawanan itu berada. Tulisan ini ingin mengupas masalah daerah pangkal perlawanan yang merupakan mata rantai penyelenggaraan operasi teritorial diseluruh wilayah binaan Satuan komando kewilayahan.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode empiris, penalaran deduktif dan induktif serta interpretasi dalam rangka pelaksanaan pembangunan di daerah yang belum secara sinergis dilakukan terhadap fungsi pertahanan wilayah termasuk daerah pangkal perlawanan.  Agar dioptimalkan di masa mendatang melalui pelaksanaan pembangunan fisik, penataan organisasi militer baik dari segi kualitas maupun kuantitas personel, serta pembinaan masyarakat. Pertanyaan diajukan adalah Bagaimana penyiapan daerah pangkal perlawanan? Apa pentingnya daerah pangkal perlawanan? Dan apa Kriteria keberhasilan penyiapan daerah pangkal perlawanan tersebut?
 Tinjauan Teoritik
Upaya pembentukan sistem pertahanan dan keamanan nasional yang melibatkan elemen rakyat sebagai sistem cadangan kekuatan pertahanan di Indonesia, mempunyai kedudukan yang tak kalah pentingnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sitim pertahanan pada saat perang kemerdekaan yang telah teruji mencerminkan sistim pertahanan semesta (Sishanta) yang diselenggarakan TNI saat ini.  Wehrkreise atau kantung-kantung perlawanan sebagai pusat komando terus dikembangkan dan ditingkatkan kemampuannya oleh TNI dimana konsep pembentukan kantung-kantung perlawanan diarahkan guna mewujudkan Daerah pangkal perlawanan yang dibentuk dan disiapkan diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,  didalamnya terhimpun kekuatan militer, Ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya serta pemerintahan.
Wehrkreise ( bahasa jerman berarti ; “Lingkaran Pertahanan”) memilik arti lingkungan pertahanan atau pertahanan daerah melingkar yang berlapis. Sistim ini dipakai Tentara Nasional Indonesia untuk mempertahankan setiap wilayah kepulauan, keresidenan maupun propinsi, yang dipimpin oleh seorang komandan distrik militer. Masing-masing komandan diberi kebebasan seluas-luasnya untuk menggelar dan mengembangkan perlawanan. Wilayah Wehrkreise adalah satu keresidenan (atau disebut Kabupaten saat ini), didalamnya terhimpun kekuatan militer, politik, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan. Sistem Wehrkreise sama sekali meninggalkan sistem pertahanan linier yang pada hakekatnya dilaksanakan untuk melindungi pemerintahan agar tetap berjalan dan perlawanan terhadap setiap ancaman dapat terselenggara secara semesta.
Jendral Soedirman bersama dengan para pemikir militer dalam Markas Besar TNI, seperti T.B. Simatupang dan A.H. Nasution, kemudian berusaha menyusun rencana baru dan akhirnya menemukan strategi Wehrkreise—kantung kantung perlawanan yang merupakan adaptasi dari sistem serupa yang diterapkan Jerman dalam Perang Dunia II. Sistem Wehrkreise ini kemudian disahkan penggunaannya dalam Surat Perintah Siasat No.1, yang ditandatangani oleh Panglima Besar Soedirman pada bulan November 1948. Wehrkreise atau kantung kantung perlawanan tersebut saat ini dikenal sebagai Daerah Pangkal Perlawanan.
Daerah pangkal perlawanan Satuan komando kewilayahan merupakan pertahanan berlapis yang dibentuk berdasarkan rencana Umum Tata Ruang Wilayah pertahanan darat, dengan klasifikasi daerah yang terdiri dari Daerah Pangkal perlawanan, Daerah belakang, Daerah komunikasi serta Daerah tempur sedangkan dalam buku Petunjuk Lapangan tentang Operasi Gerilya, Keberadaan daerah tersebut merupakan sasaran binter Satuan komando kewilayahan dan jajarannya, serta kodim BS dalam menyelenggarakan Binter diwilayahnya melalui sistim perencanaan dan pngendalian Binter ( Sisrendal Binter) untuk disiapkan dan dibina agar dapat menjadi ruang perlawanan gerilya. (Bujukops tentang binter nomor Perkasad/ 74 /X/ 2009 tanggal 23 oktober 2009). RUTR…..
Tugas pokok TNI khususnya TNI-AD dijelaskan dalam UU no 34 tahun 2004 tentang TNI yaitu untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, Negara Republik Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap bangsa dari setiap ancaman. Dengan terbentuknya Undang-undang RI No 3 Tahun 2002 tentang pertahanan negara serta Undang-undang TNI no 34 tahun 2004 tentang TNI, membawa harapan baru bagi sistem pertahanan negara di Indonesia, yang secara substansial mengamanatkan kepada seluruh komponen bangsa untuk berperan serta dan ikut berpartisipasi aktif dalam proses mewujudkan pertahanan negara yang tangguh dan menempatkan Tentara Nasional Indonesia sebagai komponen utama dengan dibantu oleh komponen cadangan dan komponen pendukung.
Berdasarkan doktrin KEP (Kartika Eka Paksi) Pembinaan Teritorial merupakan fungsi utama TNI-AD disamping pertempur dan pembinaan kekuatan sebagai fungsi lainnya. Satuan komando kewilayahan bertugas untuk mensosialisasikan konsep ketahanan nasional kepada masyarakat yang dilakukan melalui Binter secara bertahap, bertingkat dan berlanjut. dengan metode Komunikasi sosial, bakti TNI, fisik dan non fisik serta  pembinaan ketahanan wilayah.  Astagatra meliputi gatra sosial didalamnya merupakan suatu kondisi yang didayagunakan menjadi suatu kekuatan untuk mendukung  daerah pangkal perlawanan sebagai tempat bagi command control atau pusat kendali. Sisrendal binter (Sistim perencanaan pengendalian pembinaan teritorial) diselenggarakan dalam rangka mencapai sasaran Binter yakni Ruang, Alat dan Kondisi juang serta kemanunggalan TNI-Rakyat. Seluruh komponen dan aspek kehidupan didalamnya disiapkan guna mengahadapi perang berlarut serta ancaman asimetris (Asymmetric Threats) atau ancaman non linier.
Rumusan Masalah
Sistim pertahanan semesta sebagai sistim pertahanan yang berlaku di Negara kesatuan Republik Indonesia merupakan sitim pertahanan dengan melibatkan rakyat sebagai komponen cadangan dan pendukung, akan tetapi dalam implementasinya secara utuh belum tersosialisasikan kepada masyarakat. Melihat penyelenggaraan daerah pangkal perlawanan saat ini tampaknya belum memenuhi harapan, demikian pula dengan potensi dukungan pertahanan yang merupakan salah satu aspek penting dalam pertahanan semesta, belum didayagunakan secara optimal sebagai akibat dari belum sinkronnya kebijakan dan strategi pertahanan yang ada dengan kebijakan pemerintah daerah. Hal ini terlihat dari belum sinkronnya RUTR Wilayah pertahanan dengan RTRW pemerintah daerah. Klasifikasi daerah dalam penyelenggaraan operasi gerilya yang seharusnya dibina untuk membentuk Daerah perlawanan, pada kenyataannya belum terselenggara dengan baik.  Binter yang secara eksplisit mengamanatkan akan penguatan serta pemanfaatan wilayah, tampaknya masih berhadapan dengan kendala keterbatasan penataan organisasi militer baik dari segi kualitas serta peningkatan kemampuan aparat komando kewilayahan dalam rangka pembinaan teritorial, pembangunan fisik, maupun kuantitas personel
Bagaimana penyiapan daerah pangkal perlawanan?
“Si vis pacem, para bellum (“Jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang“) adalah sebuah Peribahasa Latin”.
Ide pokok perkataan ini sudah ditemukan pada Undang-undang VIII (Νόμοι 4) Plato 347 SM dan Epaminondas 5 Cornelius Nepos. Kemudian muncul dari perkataan Flavius Vegetius Renatus sekitar tahun 400 M di dalam kata pengantar De re militari: “Qui desiderat pacem, bellum praeparat“(“Siapa menginginkan perdamaian , bersiaplah untuk perang“). Biasanya ditafsirkan sebagai perdamaian melalui kekuatan, dimana Negara yang kuat akan kecil kemungkinanannya untuk diserang oleh pihak lawan atau musuh. Napoleon Bonaparte mengartikan sebagai persiapan untuk perang, bila anda berencana untuk perang maka anda harus membuat Negara lain lengah dengan memupuk perdamaian (Si vis bellum para pacem). Sebaliknya, interpretasi lain mengatakan bahwa mempersiapkan perdamaian dapat menyebabkan pihak lain untuk berperang pada Anda (Si vis pacem para pactum)
Pernyataan tersebut diatas menggambarkan bahwa Perang dan Damai merupakan fakta yang tak terbantahkan, dan juga merupakan suatu realita yang terjadi silih berganti serta berlangsung secara terus menerus dalam kehidupan manusia. Suatu bangsa dan negara harus mempersiapkan diri secara terus menerus menghadapi ancaman kekerasan yang potensial akan dilancarkan oleh bangsa dan negara lain, karena hampir dapat dipastikan dalam damai ada bibit perang, sedangkan perang cepat atau lambat akan atau harus diakhiri dengan perdamaian.
Perang selalu ada disekitar kita. Esensinya yang berwujud pemaksaaan kehendak suatu pihak kepada pihak lain akan selalu terjadi, walau strategi, taktik, dan logistiknya akan berubah sesuai dengan kemajuan zaman. Persenjataan perang dewasa ini sudah semakin kompleks, dalam arti selain penggunaan jenis senjata yang berbasis teknologi perang, yang disebut sebagai hard power, juga sudah mulai digunakan pengaruh kuat terhadap pihak lain, dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya, sebagai jenis senjata baru yang tidak mudah dikenal sebagai senjata untuk perang, yang disebut soft power. Setiap bangsa yang ingin tetap berlangsung hidup selain harus selalu siap perang, juga harus tanggap dengan perkembangan berbagai jenis senjata ini. Suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, damai dan perang merupakan bagian dari kehidupan kita.
Adanya tantangan diatas mendorong TNI untuk melakukan penanganan masalah pertahanan dengan pendekatan yang lebih komprehensif dan integratif. Konsep sistim pertahanan Negara yang bersifat semesta (Sishanta) merupakan salah satu strategi perang yang dimiliki TNI dengan mendayagunakan serta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, yang dipersiapkan secara dini oleh Pemerintah, secara total, terpadu, terarah dan berlanjut agar diperoleh  kekuatan daya tempur optimal untuk melawan penjajah yang memiliki kekuatan persenjataan militer diluar kemampuan tradisionil bangsa Indonesia, untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah serta keselamatan segenap bangsa dari segala macam bentuk ancaman.
Hakikat ancaman yang beragam dan kompleks antara ancaman militer dan ancaman nirmiliter semakin disadari bahwa pertahanan negara tidak cukup didekati dari aspek militer semata. Pendekatan pertahanan negara ke depan memerlukan pendekatan secara nirmiliter yang terpadu dengan pendekatan secara militer. Dengan demikian, pembangunan pertahanan militer dan nirmiliter harus dilaksanakan secara bersama-sama sehingga menghasilkan suatu kekuatan dan kemampuan pertahanan negara yang memiliki efek penangkalan dan efek penggentar Deterent effect dalam menjaga eksistensi dan keutuhan NKRI.
Juwono Sudarsono dalam makalah yang dibacakan Dirjen Sarana Pertahanan Dephan, Marsda TNI Eris Herianto,di Medan. pada Forum Komunikasi (Forkom) Litbang Pertahanan yang diadakan di Kampus Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan.  Mengatakan bahwa kemampuan pertahanan tidak hanya ditentukan oleh dukungan pertahanan militer saja, namun juga melalui kemampuan non militer yang secara signifikan berpengaruh terhadap kemampuan alat utama sistem pertahanan (alutsista). Ia mengatakan, keterpaduan antara pertahanan militer dan non militer dibangun untuk menangkal, mencegah, menindak dan meniadakan setiap ancaman. "Pertahanan militer yang merupakan pertahanan bersenjata dilaksanakan dengan mengoptimalkan kekuatan TNI sebagai komponen utama dan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung," katanya menegaskan.
Sedangkan pertahanan non militer dilaksanakan melalui pemberdayaan segenap rakyat dan sumber daya nasional lainnya dalam rangka kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan, sehingga memiliki daya tangkal bangsa. Menurut dia, tidak dapat dipungkiri bahwa ancaman pada saat ini tidak hanya berupa ancaman terhadap kedaulatan, namun juga terhadap kesejahteraan. Kedua sisi ancaman ini saling mempengaruhi, sehingga terancamnya kedaulatan negara akan mengancam pula kehidupan kesejahteraan, demikian pula sebaliknya. "Untuk itu, dalam menghadapi ancaman tersebut diperlukan integritas pembangunan kemampuan pertahanan melalui pemberdayaan unsur-unsur pertahanan militer serta unsur-unsur pertahanan non militer," katanya. Sumber : Antara
Berangkat dari permasalahan tersebut diatas serta untuk mendukung pelaksanaan pertahanan negara, maka perlu adanya upaya nyata TNI untuk mengembangkan diri, melalui peningkatan kembali unsur pelaksana Komando Kewilayahan sebagai ujung tombak TNI dalam rangka mendukung pelaksanaan Pemberdayaan Wilayah Pertahanan di daerah tanggungjawabnya melalui pemberdayaan daerah Pangkal Perlawanan. Apabila ancaman aktual berupa ancaman militer yang karakteristiknya memerlukan penanganan melalui OMP (Operasi Militer Perang), maka lapis pertahanan militer didayagunakan sebagai inti kekuatan yang bersifat semesta. Dalam hal ini lapis pertahanan militer yang berintikan komponen utama, didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung, di samping disokong oleh lapis pertahanan nirmiliter yang melaksanakan fungsi-fungsi diplomasi serta upaya-upaya lain dalam bentuk perlawanan tidak bersenjata Selain lebih efektif dengan memberdayakan kekuatan masyarakat dan letak geografis wilayah, juga meminimalisir jatuhnya korban di pihak sipil, “dengan menghindari konfrontasi fisik dalam skala luas.
Memberdayakan wilayah pertahanan menurut UU no 34 tentang TNI adalah membantu pemerintah menyiapkan potensi nasional menjadi kekuatan pertahanan yang dipersiapkan secara dini, melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut meliputi wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya, membantu pemerintah menyelenggarakan pelatihan dasar kemiliteran secara wajib bagi warga negara sesuai peraturan perundang-undangan, dan membantu pemerintah memberdayakan rakyat sebagai kekuatan pendukung.
Tugas memberdayakan wilayah pertahanan ini berlangsung di daerah-daerah dan dilaksanakan oleh semua kekuatan TNI dalam bentuk komando kewilayahan (kowil), seperti Kodam dan jajarannya sampai tingkat bawah yakni koramil. Hal tersebut tentunya senada dengan dengan tugas pemerintah di daerah dalam menyiapkan potensi daerah menjadi kekuatan pertahanan sebagaimana amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pelaksanaannya saling terkait antardepartemen. Tugas pemberdayaan wilayah pertahanan, baik di darat, laut, maupun udara, diarahkan untuk menunjang fungsi pertahanan dan keamanan, serta mendukung pemerintah dalam penataan wilayah yang diorientasikan guna mencapai kesejahteraan melalui pendekatan secara nirmiliter yang terpadu dengan pendekatan secara militer.
Daerah Pangkal Perlawanan menurut buku pedoman tentang peran koter dalam penyiapan, didefenisikan sebagai bagian tertentu dari suatu wilayah yang telah dipilih dan dipersiapkan serta didayagunakan secara efektif sebagai pusat kegiatan atau pusat pengendalian perlawanan terhadap musuh, yang dengan mudah dapat dikembangkan menjadi daerah perlawanan dan komando pengendalian maupun sebagai basis untuk menunjang operasi yang diselenggarakan diwilayah tersebut, terutama sekali dalam rangka pelaksanaan perang berlarut sesuai doktrin Hanrata. (Buku Pedoman tentang peran Koter dalam penyiapan rahkalwan Sterad tahun 2002 hal 3). Daerah pangkal perlawanan juga merupakan mata rantai penyelenggaraan operasi Komando Resor Militer (Korem) diseluruh daerahnya yang dipersiapkan dan dibentuk sesuai rencana operasi pertahanan kodam sehingga dalam pelaksanaannya berimplikasi kepada seluruh wilayah pemerintahan dari pusat sampai ke daerah guna mempertahankan eksistensi pemerintah.
Apa pentingnya daerah pangkal perlawanan?
Daerah pangkal perlawanan merupakan strategi TNI-AD dalam rangka menghadapi ancaman asymetris, (Asymmetric threat), Perang  berlarut maupun perang generasi keempat (Fourth Generation War).  Daerah pangkal perlawanan sebagai bagian dari system pertahanan semesta (Sishanta) adalah ujung tombak pertahanan wilayah yang tersebar diseluruh wilayah NKRI dalam gelar kekuatan TNI. Kegiatan yang dilaksanakan ialah melakukan pemberdayaan wilayah pertahanan sesuai UU No 2/2002 dan no34/2004 yang dilaksanakan melalui pembinaan teritorial meliputi pembinaan Geografi, Demografi dan Kondisi sosial agar menjadi RAK Juang yang tangguh (Ruang, Alat, Kondisi juang) serta kemanunggalan TNI-Rakyat guna mewujudkan pertahanan Negara. Geografi, Demografi dan Kondisi sosial sebagai kekuatan disiapkan, dibina serta didayagunakan sebagai penangkal, penindak terhadap ancaman dari dalam dan luar negri serta pemulih terhadap kondisi keamanan Negara.
Geography as a force (Geografi sebagai kekuatan). Unsur kedaulatan dan keutuhan wilayah adalah bagian dari kepentingan pertahanan negara. Penguasaan geografi secara utuh sesuai dengan sifat, bentuk dan dinamikanya akan menjamin kedaulatan yang utuh pula. Dengan kata lain dalam mengimplementasikan kepentingan pertahanan negara untuk mendukung kepentingan nasional, harus dilandasi pemahaman tentang realita kondisi geografis, agar kapabilitas pertahanan mendapatkan pijakan yang kuat. Kekuatan Geografi dalam daerah pangkal perlawanan, harus membentuk kompartemen daerah yang agar dapat menentukan (a) berapa sumber daya yang ada padanya; (b) sumber mana yang memerlukan pembinaan serta pengembangan secara khusus; (c) apa yang masih perlu diadakan dari luar kompartemen; dan (d) kompartemen lain yang dapat membantu dan atau perlu dibantu. Komando kewilayahan menjadi relevan karena merupakan bagian dari kompartemen strategis negara untuk mengembangkan ruang, alat dan kondisi juang bagi pergelaran strategi perang di zona pertahanan dalam.
Demography as a force (Demografi sebagai kekuatan). Pembinaan unsur demografi dilaksanakan guna memperoleh kekuatan demografi/penduduk melalui penilaian baik secara kualitatif (fungsinya dalam masyarakat) maupun secara kuantitatif. Penilaian ini juga diikuti dengan pengembangan empat komponen utama penyelenggaraan pertahanan negara yaitu komponen perlawanan bersenjata, komponen Kamtibmas dan Linmas, komponen urusan sipil (termasuk didalamnya aparatur pemerintahan sipil), dan komponen produksi. Komando kewilayahan dalam fungsi pembinaan ini berperan sebagai instrumen inti dari komponen perlawanan bersenjata. Instrumen inti dari komponen-komponen lainnya adalah institusi sipil Departemen Pertahanan yang berkewajiban untuk mengelola seluruh potensi sumber daya nasional yang dapat dipergunakan untuk menyelenggarakan strategi pertahanan Negara melalui mobilisasi.
Social Condition as a force (Kondisi sosial sebagai kekuatan). Kondisi sosial sebagai kekuatan negara, diwujudkan melalui pemmbinaan ketahanan mental rakyat yang meliputi aspek-aspek idelogi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Fungsi TNI ialah membantu pemerintah dalam upaya penyelenggaraan ketahanan kondisi sosial bangsa yang merupakan cita-cita ideal masa depan bangsa. Sebagai cita-cita, maka kondisi sosial akan menjadi sesuatu kekuatan penggerak terhadap apa yang diperjuangkan serta melahirkan semangat berjuang dan kerelaan untuk berkorban. Betapa besar kekuatan ketahanan  kondisi sosial bangsa dalam menggerakkan kekuatan seluruh rakyat, hal ini dapat dilihat saat bangsa ini berjuang,  berperang  melawan penjajah  untuk merebut kemerdekaannya. Setiap orang atas kecintaannya terhadap tanah air, bersedia mengorbankan kepentingan individu, kelompok, suku dan kedaerahan untuk membela bangsanya. Bahkan mereka mau melepaskan apa saja yang mereka miliki untuk kepentingan bangsanya, tanpa peduli apa yang akan  diperolehnya kemudian. Kekuatan kondisi sosial tersebut harus selalu dipelihara dan digelorakan oleh seluruh pemimpin, di semua tingkat yang ada. Menyatukan seluruh komponen bangsa serta sekaligus  menjadi kekuatan untuk mengatasi setiap ancaman agar tidak tumbuh dan berkembang serta tidak kehilangan arah dan orientasi yang dapat melahirkan konflik maupun berbagai penyimpangan yang tentu tidak mudah diberantas.
Dan apa Kriteria keberhasilan penyiapan daerah pangkal perlawanan tersebut?
Aksentuasi aspek Geografi ;
Melihat lebih teliti mengenai definisi Daerah pangkal perlawanan berdasarkan teori teritorial tersebut, maka Daerah pangkal perlawanan dapat dikategorikan sebagai suatu tempat bagi penyelenggaraan Command Control atau pusat kendali terhadap penyelenggaraan perang gerilya dalam rangka perang berlarut. Dengan dasar pertimbangan strategis tersebut maka posisi Daerah pangkal perlawanan secara ideal harus terletak dan terlindungi dalam suatu Inner Cycle yang Affordable to Defence. Artinya bahwa posisinya sebagai pusat kendali gerilya.dapat terlindungi dari berbagai aspek sehingga tidak mudah bagi pihak lawan untuk merebut dan menguasainya. Disamping itu daerah pangkal perlawanan juga harus didukung dengan fasilitas yang memungkinkan dalam upaya mempertahankannya dari kemungkinan penguasaan oleh pihak lawan, hal ini ditinjau berdasarkan pertimbangan letak keadaan atau potensi yang dikandung oleh daerah serta niat untuk menguasai Sumber daya alam (SDA), Sumber daya buatan (SDB), sumber daya manusia (SDM) maupun teknologi yang dapat didayagunakan untuk kepentingan musuh.
Kegiatan Command Control atau komando pengendalian dalam daerah pangkal perlawanan diselenggarakan dalam rangka pengendalian kekuatan aspek geografi, demografi dan kondisi sosial wilayah pertahanan. Ruang lingkup kegiatan yang dilaksanakan adalah menghimpun daya tempur, daya intelijen, daya teritorial dan daya wilayah pada umumnya. Daerah tersebut juga merupakan pusat operasi gerilya dimana kegiatan akan dilancarkan, tempat penyusunan kekuatan, konsolidasi, istirahat dan penimbunan barang-barang logistik. Selain itu juga dilaksanakan kegiatan pembinaan teritorial yang didukung operasi intelijen dalam rangka mencegah penyusupan intelijen musuh dan penyiapan secara dini dukungan-dukungan operasi tempur bila sewaktu-waktu diperlukan. Berdasarkan buku petunjuk induk tentang pembinaan teritorial, bahwa daerah pangkal perlawanan merupakan bagian dari sasaran pokok Binter, dengan demikian maka untuk mencapai sasaran tersebut dalam tahap perencanaan harus melalui sistim perencanaan dan pengendalian pembinaan teritorial atau Sisrendalbinter (Buku petunjuk induk tentang pembinaan teritorial nomor : 05-01)
Sumber daya nasional sebagai potensi pertahanan dan pembentuk kekuatan bangsa, perlu dibina dan dipersiapkan ke arah transformasi kekuatan pertahanan, guna meningkatkan efek penggentar (Deterence Effect), dan penyiapannya sebagai elemen kekuatan bersama antara sipil-militer dalam bangun sistem kekuatan diplomasi menghadapi ancaman nonmiliter. Perimbangan dukungan strategis yang semula dianggap sebagai tugas militer dapat diberdayakan dan diemban oleh sektor-sektor lain yang lebih esensial dalam mewujudkan kesejahteraan. Untuk itu upaya memvitalkan kembali penguatan kapabilitas pertahanan yang mengalami degradasi, dilakukan dengan menguatkan militer secara khusus dan pertahanan Negara secara umum. Dengan demikian pembinaan potensi pertahanan secara proporsional akan berdimensi ganda. Pertama mengaksentuasi penguatan militer menghadapi ancaman militer, dan kedua mengintegrasikan unsur lain kekuatan bangsa ke dalam kapabilitas sistem pertahanan negara dalam bentuk kekuatan diplomasi untuk menghadapi ancaman nonmiliter. Dengan perspektif dua dimensi ini, maka terdapat aksentuasi kuat kebutuhan pertahanan, yang dalam segi anggaran akan menguatkan kesejajaran fungsi pertahanan layaknya fungsi pemerintah yang lain. Untuk mewujudkan bangun kekuatan menghadapi ancaman nonmiliter itu, berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang no 3/2002 yang mengatur hak dan kewajiban bela negara bagi seluruh warga negara. Dengan memadukan kualitas bela negara seluruh warga negara, resultante hasil yang dipadukan dengan kekuatan militer, akan menjadi kekuatan diplomasi, cadangan dan pendukung.
Aksentuasi aspek Demografi; 
Aksentuasi unsur demografi secara kualitatif dilaksanakan guna memperoleh potensi demografi yang berkualitas sesuai tugas fungsinya dalam masyarakat melalui pembinaan Tenaga professional, Tenaga ahli, Tenaga pendidik, Tokoh masyarakat, Tokoh agama dan Tokoh adat yang memiliki wawasan kebangsaan sehingga tercapai potensi demografi secara kuantitatif untuk  diarahkan dalam rangka mencapai ketahanan nasional. Penguatan ini juga diikuti dengan pengembangan empat komponen utama penyelenggaraan pertahanan negara yaitu komponen perlawanan bersenjata, komponen Kamtibmas dan Linmas, komponen urusan sipil (termasuk didalamnya aparatur pemerintahan sipil), dan komponen produksi. Satkowil berperan sebagai instrumen inti dari komponen perlawanan bersenjata. Departemen Pertahanan  berkewajiban untuk mengelola seluruh potensi sumber daya nasional yang dapat dipergunakan untuk menyelenggarakan strategi pertahanan Negara melalui mobilisasi.
Aksentuasi aspek Kondisi Sosial ;
Penguasaan daerah, baik oleh pasukan gerilya maupun musuh mempunyai pengaruh yang sama dan masyarakat merupakan obyek perebutan pengaruh. Kerawanan dalam bidang kehidupan masyarakat yang ada pada masa sebelum perang seperti perselisihan antar kelompok masyarakat terhadap politik negara, masalah kesejahteraan, sosial ekonomi, ketegangan-ketegangan yang timbul dari perasaan yang tidak puas terhadap pemerintah serta kepentingan yang bersifat pribadi dari perorangan akan dimanfaatkan oleh pihak musuh.
Masyarakat terdiri dari sejumlah manusia yang telah hidup bersama dan mereka menciptakan berbagai peraturan pergaulan hidup membentuk kebudayaan, dimana setiap anggota masyarakat merasa dirinya masing-masing terikat dengan kelompoknya. Adapun Pembinaan teritorial yang perlu dilakukan ialah dengan cara empati sehingga memiliki makna subyektif bagi pelakunya (merasa sama atau senasib sepenanggungan dengan orang lain), dia harus dapat menempatkan dirinya dalam posisi pelaku untuk dapat menghayati pengalamannya dalam mewujudkan tindakan sosial yang diharapkan sebagai implementasi dari fakta sosial (Max weber). Fakta sosial merupakan pola-pola atau sistim yang mempengaruhi cara masyarakat untuk bertindak, berpikiran dan merasa yang dituangkan kedalam aturan (Emile Durkheim). Fakta sosial berada diluar individu dan mempunyai kekuatan memaksa untuk mengendalikan individu tersebut. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh.Dengan metode ilmiah yang tepat (penelitian berulang kali, penjelasan yang teliti, dan perumusan teori berdasarkan pembuktian), sehingga dapat diambil langkah konsepsional guna pembinaan masyarakat diwilayah.
Aksentuasi kepemimpinan nasional ditujukan dalam rangka membina dan membangun pertahanan dalam kehidupan masyarakat modern, sehingga diperlukan kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa, dimana untuk mendukung hal tersebut ditentukan oleh banyak faktor, yaitu: Pribadi (moral, akhlak, semangat, dan akuntabilitas) serta komitmen yang kuat dari pemimpin-pemimpin Bangsa. Tujuan Nasional, yang selalu berintikan Falsafah Negara, merupakan unsur Pengarah, Pemersatu, Pemberi Motivasi dan merupakan salah satu Identitas Nasional. Nilai-nilai Sosial Budaya, keadaan Sosial (masyarakat), Sistem Politik dan Ilmu Pengetahuan. Kepribadian Nasional, merupakan hasil perkembangan Sejarah dan cita-cita bangsa yang dirumuskan sebagai dasar kehidupan bangsa. Kepribadian ini perlu dipupuk, dibina dan dimasyarakatkan pada setiap generasi, karena kepribadian nasional ini merupakan daya tangkal yang sangat strategis untuk menghadapi tantangan dari pengaruh asing, maupun pengaruh dari dalam, seperti Terorisme, dll.
Empat pilar bangsa yakni Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, yang berfungsi sebagai fondasi dan perekat bangsa. Pancasila adalah penyaring (filter) dan dari Pancasila lahirlah ketiga pilar lainnya. Pancasila sebagai Ideologi bangsa Indonesia, merupakan aksentuasi dan modal sosial bangsa, dapat ditunjukan dari fakta bahwa Pancasila sudah menjadi bagian dari sejarah Indonesia, bahkan lebih dari itu, Pancasila juga membuat Indonesia ada, dan besar peluang untuk membantu bangsa yang majemuk ini tetap bertahan serta berkembang sampai waktu yang lama. Pancasila merupakan nalar masyarakat yang mengandung nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan masuk akal. Kebebasan sebagai anggota warga Negara yang bebas serta menganggap orang lain juga bebas, setara dan masuk akal. Bukan karena dominasi, manipulasi ataupun karena tekanan paksa akibat posisi sosial yang lebih rendah Inferior melainkan disebabkan oleh adanya keyakinan untuk mencapai tujuan bersama. Ideology Pancasila adalah penting untuk dipahami oleh segenap anak bangsa sebagai pedoman dan pandangan hidup bagi seluruh warga Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga pengetahuan tentang Pancasila merupakan prioritas dalam setiap pembinaan teritorial di wilayah.
Aksentuasi Ruang, Alat serta bidang kehidupan sosial bangsa Indonesia dalam Daerah pangkal perlawanan dibagi dalam 8 (Delapan) kelompok gatra/model bidang kehidupan. Kedelapan gatra tersebut (Astagatra) dibagi dalam dua kelompok, yaitu Trigatra (geografi, sumber kekayaan alam, dan demografi) dan Pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam). Model bidang kehidupan tersebut dapat dibedakan secara teoretik tetapi tidak bisa dipisahkan karena keterkaitan yang kuat satu sama lain. Oleh karena itu, astagatra ini harus dilihat secara holistik dan integral (bulat utuh menyeluruh). Trigatra bersifat statis dan Pancagatra bersifat dinamis. Trigatra merupakan modal dasar untuk meningkatkan Pancagatra. Pancagatra atau gatra sosial terdiri dari aspek-aspek kehidupan sosial yang menyangkut kehidupan dan pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan ikatan-ikatan, aturan-aturan dan norma-norma tertentu. Gatra Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Pertahanan dan Keamanan.  Kelima gatra Sosial tersebut mengandung unsur-unsur yang bersifat dinamis serta memiliki korelasi antara gatra yang satu dengan gatra yang lain. Kelemahan di dalam satu gatra dapat mempengaruhi gatra yang lain demikian juga sebaliknya, meningkatnya kekuatan pada salah satu gatra dapat meningkatkan gatra yang lain (sinergi). Ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia selalu ditujukan pada kelima gatra Sosial.  Oleh karena itu penanggulangannya adalah dengan upaya meningkatkan ketahanan secara utuh menyeluruh dan terpadu. Kualitas Pancagatra dalam kehidupan nasional Indonesia dalam interaksinya dengan Trigatra mencerminkan tingkat Ketahanan Nasional Indonesia.
Pembinaan kondisi sosial wilayah melalui binter dapat dilihat dari berbagai problematikanya, diperlukan gagasan-gagasan orisinil yang justru problem solvingnya dari sudut pandang sosiologis sebab permasalahan sosial tidak mudah di selesaikan dengan sekedar jargon politik semata. Tetapi, diperlukan kerja sosial yang berbasis sosial-budaya yang sangat heterogen. Masyarakat daerah yang serba plural perlu dicarikan formulanya yang melibatkan para ahli diberbagai bidang. Mulai "hulu" (pemerintah) sampai "hilir" (rakyat) dimanapun berada, membuka ruang publik komunikasi sosial untuk meretas sekat-sekat psikologis yang sudah lama mengkristal. Dengan demikian, fungsi peran-peran social-control seperti yang dikemukakan Paul B.Horton dan C.L.Hunt (1993:176). Pengendalian sosial (social control) adalah, untuk menggambarkan segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang atau masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan kelompok atau masyarakat sehingga dapat menjadi pengendali sosial yang sesuai dengan harapan berbagai elemen bangsa, kalau menghendaki adanya social order (ketertiban sosial). Memang proses penyelarasan main-stream ke berbagai kalangan tidak semudah membalik tangan, tapi itulah uji kelayakan seorang pemimpin atau aparat komando kewilayahan yang mumpuni.
Dalam gelar Operasi Teritorial, maka Paradigma Satuan Teritorial harus bersifat dinamis, yaitu dapat mengikuti perkembangan jaman agar dapat berperan serta menarik hati rakyat di era saat ini. Satuan komando kewilayahan harus berfikir dan berinovasi survive terhadap apa kebutuhan masyarakat, terutama generasi muda agar tidak terpengaruh oleh pihak insurjen. Peran Satuan kewilayahan harus sesuai dengan perkembangan jaman dan sesuai sasaran. Sehingga perubahan pada konsep Binter menjadi tolok ukur akan berdampak pada perubahan gelar Operasi Tertorial yang dilaksanakan pada masa pra-insurjensi (sebelum insurjensi terjadi), masa insurjensi dan masa pasca insurjensi (pemulihan kamtibmas). Satuan komando kewilayahan serta babinsa harus lebih profesional dan mampu menganalisis setiap ancaman, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang dapat meruntuhkan pemerintah dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Aksentuasi kualitas maupun kuantitas satuan komando kewilayahan dilaksanakan melalui pendidikan dan latihan agar memiliki kemampuan sesungguhnya, berinovasi praktis guna menimbulkan pemikiran berupa ide-ide sosial kemasyarakatan yang mengarah kepada tata kehidupan sosial kepribadian bangsa Indonesia. Menurut Locke, Ide yang terdapat di benak manusia sesungguhnya berasal dari pengalaman. Ia hadir secara aposteriori. Pengenalan manusia terhadap seluruh pengalaman yang dilaluinya (mencium, merasa mengecap dan mendengar) menjadi dasar bagi hadirnya gagasan-gagasan sederhana sebagai pangkal tolak dari timbulnya gagasan rumit yang disebut persepsi. Pengalamanlah yang menjadi dasar pengetahuan yang kita kenal sebagai empirisme ( buku filsafat umum Prof. Dr.H Suhar AM, M.Ag hal 148 GP press). Adanya doktrin, teor-teori serta buku petunjuk tentang Binter, ilmu sosial dan filsafat merupakan landasan kerja bagi aparat satkowil dalam penyelenggaraan pembinaan teritorial diwilayahnya. Akan tetapi realita dilapangan, kurangnya kemampuan, pengetahuan serta pengalaman anggota satkowil dapat membatasi kemampuan, sehingga menimbulkan sikap skeptis.  Maka tugas pimpinan ialah menumbuhkan kepercayaan diri bagi anggota satkowil melalui pelaksanaan tugas binter diwilayah secara benar agar anggota satkowil memiliki pengalaman Binter yang dapat diterapkan dalam tugas-tugas binter selanjutnya.

Kesimpulan :
Terjadinya transformasi paradigma ancaman yang selama ini bersifat konvensional menjadi pertahanan yang lebih komprehensif dan lebih dinamis adalah akibat adanya perkembangan situasi global, regional dan nasional saat ini  yang mengindikasikan adanya upaya intervensi negara berkembang dan mengarah kepada terjadinya kompetisi ekonomi antar bangsa baik dalam lingkup global maupun regional, yang dapat mengancam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tantangan tersebut berupa ancaman asimetris (Asymmetric Threats) atau ancaman non linier yang tidak mengenal medan perang atau front dan dikenal sebagai perang generasi Keempat (Four Generation War), dimana perbedaan antara situasi perang dan situasi damai menjadi kabur yang menyerang aspek sosial politik suatu bangsa. Kerawanan dalam bidang kehidupan masyarakat yang ada pada masa sebelum perang seperti perselisihan antar kelompok masyarakat terhadap politik negara, masalah kesejahteraan, sosial ekonomi, ketegangan-ketegangan yang timbul dari perasaan yang tidak puas terhadap pemerintah serta kepentingan yang bersifat pribadi dari perorangan akan dapat dimanfaatkan oleh pihak musuh. Tugas penyelenggaraan bidang Pertahanan merupakan fungsi pemerintah. menurut UU TNI no 34/2004 TNI bertugas melaksanakan pertahanan milter."Pertahanan militer merupakan pertahanan bersenjata yang dilaksanakan dengan mengoptimalkan kekuatan TNI sebagai komponen utama dan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung," yang berfungsi sebagai penangkal dan penindak setiap bentuk ancaman militer dan pemulih terhadap terganggunya keamanan negara akibat kekacauan keamanan.

Daerah pangkal perlawanan merupakan bagian dari pertahanan militer yang diberdayakan sebagai pusat operasi gerilya serta dipersiapkan dan didayagunakan secara efektif sebagai pusat kegiatan atau pusat pengendalian perlawanan terhadap musuh, yang dengan mudah dapat dikembangkan menjadi daerah perlawanan dan komando pengendalian maupun sebagai basis untuk menunjang operasi yang diselenggarakan diwilayah tersebut, meliputi operasi teritorial dibantu operasi intelijen dan operasi tempur bila diperlukan untuk menunjang pengamanan terhadap kemungkinan penerobosan musuh terutama sekali dalam rangka pelaksanaan perang berlarut sehingga diperlukan upaya peningkatan Pemberdayaan Wilayah Pertahanan dengan cara aksentuasi keadaan geografi, demografi dan kondisi sosial agar menjadi kekuatan pertahanan yang efektif serta adanya pendayagunaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan dan sarana prasarana lainnya menjadi kemampuan cadangan dan pendukung guna terwujudnya suatu kekuatan pertahanan Negara yang handal.

Aksentuasi daerah pangkal perlawanan dilakukan melalui penguatan pemahaman segenap komponen di daerah pangkal perlawanan meliputi komponen Masyarakat, Pemerintah daerah dan Satuan komando kewilayahan berkenan pemberdayaan wilayah pertahanan melalui metode Bakti TNI, sosialisasi ketahanan nasional sebagai wujud komunikasi sosial serta pembinaan ketahanan wilayah dan bagaimana aktualisasinya di masyarakat melalui kebijakan pemerintah, agar implementasinya dapat dilakukan secara sinergi dan berkesinambungan. Daerah pangkal perlawanan serta kondisi Geografi, Demografi dan Kondisi sosial didalamnya meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam merupakan gatra penting yang perlu dibina menjadi kekuatan ruang alat dan kondisi (RAK) juang yang tangguh serta kemanunggalan TNI-Rakyat yang diolah serta dianalisa dalam sistim perencanaan dan pengendalian Binter terhadap Instansi Militer, Pemerintah Daerah setempat maupun masyarakat di wilayah dimana Daerah Pangkal Perlawanan itu berada. Adapun proses perencanaan penataan, pengendalian dan pemanfaatan ruang dalam suatu Daerah Pangkal Perlawanan, telah menjadi satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan dalam Tata ruang wilayah pertahanan atau RTRW wilayah pertahanan yang disusun dengan perspektif kondisi masa depan, bertolak dari data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dipakai serta memperhatikan keragaman wawasan kegiatan tiap sektor, lingkungan hidup dan hakekat ancaman yang berkembang setiap waktu.

Untuk membina dan membangun pertahanan dalam kehidupan masyarakat modern, diperlukan kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa, melalui penguatan Pribadi (moral, akhlak, semangat, dan akuntabilitas) dari pemimpin-pemimpin Bangsa serta komitmen yang kuat, dirahkan guna mencapai Tujuan Nasional, yang selalu berintikan Falsafah Negara, sebagai unsur Pengarah, Pemersatu, Pemberi Motivasi dan merupakan salah satu Identitas Nasional. Nilai-nilai Sosial Budaya, keadaan Sosial (masyarakat), Sistem Politik dan Ilmu Pengetahuan. Kepribadian Nasional, merupakan hasil perkembangan Sejarah dan cita-cita bangsa yang dirumuskan sebagai dasar kehidupan bangsa.Kepribadian ini perlu dipupuk, dibina dan dimasyarakatkan pada setiap generasi, karena kepribadian nasional ini merupakan daya tangkal yang sangat strategis untuk menghadapi tantangan dari pengaruh asing, maupun pengaruh dari dalam, seperti Terorisme, dll. Oleh karena itu penanggulangannya dilakukan melalui upaya peningkatan komponen pertahanan secara utuh menyeluruh dan terpadu.

No comments:

Post a Comment