Monday, August 26, 2013

OPTIMALISASI PENYELENGGARAAN KOMSOS GUNA MENUNJANG PELAKSANAAN TUGAS SATKOWIL DALAM RANGKA PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DI KOTA TARAKAN


Makhluk sosial merupakan zoon politicon, yang berarti manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, hal ini dikemukakan oleh ahli sosial aristoteles. Untuk dapat berinteraksi maka komunikasi sosial adalah persyaratan yang utama yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan tak dapat dipisahkan, karena manusia tercipta sebagai mahluk sosial. Hal terpenting dalam komunikasi yaitu adanya kegiatan saling menafsirkan perilaku seperti pembicaraan, gerakan-gerakan fisik, atau sikap dan perasaan-perasaan yang disampaikan, melalui kemampuan komunikasi interpersonal sebagai suatu tingkat kecakapan yang harus dibawa individu dalam melakukan interaksi dengan individu dalam melakukan interaksi dengan individu lain atau sekelompok individu (Goldstein, 1982).
 Mempelajari kehidupan Bangsa Indonesia yang beragam atau dikenal “Multikulturalisme”, realitanya banyak mengandung berbagai kebijakan kebudayaan, yang menekankan penerimaan terhadap perbedaan ideologi, kepentingan politik dan ekonomi serta adanya potensi konflik berupa benturan budaya yang bersifat internal dan tidak mungkin dihilangkan sama sekali sehingga peran Komunikasi sosial sangat dibutuhkan. Komunikasi Sosial dalam pembinaan teritorial TNI-AD, merupakan salah satu metode yang dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh satuan jajaran TNI AD, namun dalam pelaksanaannya masih belum optimal, oleh karena itu perlu adanya langkah-langkah yang konkrit agar pelaksanaan Komunikasi Sosial dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa Indonesia mengalami berbagai, ancaman, gangguan hambatan dan tantangan dari bergulirnya proses reformasi, demokratisasi serta periode perubahan ekonomi yang pesat serta diwarnai oleh konflik komunal, bencana alam, korupsi dan separatisme. Dalam dinamika keamanan nasional, konflik komunal dapat dipandang sebagai ancaman keamanan yang perlu ditangani secara bijak melalui penyelenggaraan komunikasi sosial yang intensif. Konflik-konflik kekerasan komunal yang terjadi pada masa lalu bukan mustahil akan menjadi model yang akan menginspirasi para aktor sosial generasi baru untuk melakukan kekerasan komunal di masa yang akan datang.
Memahami penyelenggaraan komunikasi sosial dalam menghadapi konflik kekerasan komunal serta untuk mengidentifikasi beberapa penyebab yang terjadi dilapangan, maka perlu dilakukan komunikasi sosial yang efektif guna memperoleh informasi, data dan fakta, agar dapat dilakukan upaya-upaya untuk menangani masalahan konflik komunal, maka tulisan dalam perspektif teoritis dan empiris ini mungkin berguna bagi upaya mengatasi atau mencegah terjadinya konflik kekerasan komunal dalam masyarakat majemuk, Bagaimana pengaruh komsos terhadap budaya dalam kehidupan sosial masyarakat?, Faktor apa saja yang dapat menyebabkan konflik di wilayah ? Bagaimana komunikasi sosial dapat mengatasi konflik komunal?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka dapat diambil beberapa Teori sebagai berikut, Komunikasi sosial menurut pandangan pakar sosial Alfred Adler (1917) dalam bukunya “The American Society of Individual Psychology”. bahwa manusia adalah mahluk sosial, ia merupakan mahluk yang berdaya dan memiliki rasa sosial yang dalam, sehingga itu pulalah ia dapat “survive” dalam menjalani hidup. Komunikasi sosial memungkinkan individu membangun suatu kerangka rujukan dan menggunakannya sebagai pantauan untuk menafsirkan, situasi apapun yang ia hadapi. Komunikasi sosial juga memungkinkan seseorang untuk mempelajari dan menerapkan strategi-strategi adaptif agar dapat mengatasi situasi-situasi problematik yang ia alami. Tanpa melibatkan diri dalam suatu komunikasi, seseorang tidak akan tahu bagaimana berinteraksi dan memperlakukan manusia lain secara beradab, karena cara-cara berprilaku tersebut harus dipelajari lewat pengasuhan keluarga dan pergaulan dengan orang lain.
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula, teori ini diperkenalkan oleh “Lewis A. Coser”, didasarkan pada pemilikan sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat. Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan, namun pada suatu titik tertentu masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Berdasarkan Doktrin TNI AD “Kartika Eka Paksi” (KEP), bahwa Binter merupakan fungsi utama TNI AD, sehingga Binter menjadi tugas yang harus dilaksanakan oleh seluruh prajurit TNI AD. Binter yang dilaksanakan oleh Satuan komando kewilayahan didaerah saat ini merupakan upaya, pekerjaan dan kegiatan yang berhubungan dengan penyusunan, pengerahan dan pengendalian terhadap unsur-unsur wilayah berupa Geografi, Demografi dan Kondisi sosial yang dilakukan melalui metode Komunikasi sosial, Bakti TNI dan Bintahwil, dalam rangka mencapai Tugas Pokok TNI AD.
              Berdasarkan Doktrin TNI AD “Kartika Eka Paksi” (KEP), bahwa Binter merupakan fungsi utama TNI AD, sehingga Binter menjadi tugas yang harus dilaksanakan oleh seluruh prajurit TNI AD. Binter yang dilaksanakan oleh Satuan komando kewilayahan didaerah saat ini merupakan upaya, pekerjaan dan kegiatan yang berhubungan dengan penyusunan, pengerahan dan pengendalian terhadap unsur-unsur wilayah berupa Geografi, Demografi dan Kondisi sosial yang dilakukan melalui metode Komunikasi sosial, Bakti TNI dan Bintahwil, dalam rangka mencapai Tugas Pokok TNI AD
   melalui komunikasi sosial kita dapat berkerja sama dengan komponen masyarakat (aparat pemerintah, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh pemuda secara keseluruhan) agar dapat berpartisipasi membangun sikap toleransi, persatuan dan kesatuan, serta membangun kehidupan sosial masyarakat majemuk menjadi sebuah keluarga dengan meretas perbedaan yang ada, dalam rangka menciptakan perubahan pada suatu sistem sosial yakni perubahan sosial (sosial changes) serta menggunakannya sebagai sistim peringatan dini melalui kegiatan cegah dini dan deteksi dini untuk penanganan konflik sosial diwilayah.
            Komunikasi sosial dapat dilakukan dengan teknik penyuluhan, tatap muka, dialog, olah raga bersama maupun anjangsana untuk bersilaturahmi kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu kebersamaan antara TNI-Rakyat. Komunikasi sosial melalui penyuluhan dapat berfungsi sebagai penerangan, atau usaha penerusan suatu pesan maupun amanat kepada masyarakat agar mereka mengerti dan sadar tentang persatuan dan kesatuan, terlepas dari soal suka atau tidaknya mereka sebagai penerima. Penyuluhan/dialog dapat juga digunakan sebagai alat propaganda, maupun sebagai usaha untuk mengubah perilaku sasaran secara emosional, sehingga mereka memihak yang berpropaganda, demi keuntungan yang berpropaganda, dengan mengedepankan aktualisasi integritas pada suatu tatanan negara kita, dimana persatuan dan kesatuan bangsa menjadi pondasi guna mencapai kemajuan bangsa ini.
            Secara sistimatis, bahwa permasalahan sosial yang timbul di wilayah harus dapat ditanggapi oleh sistem sosial termasuk didalamnya adalah Satuan Komando Kewilayahan.  Sistem sosial yang ada ini harus mampu melihat permasalahan yang timbul, untuk kemudian diatasi secara sinergis dengan seluruh komponen yang ada.  Koordinasi antara Satuan Komando Kewilayahan,  masyarakat serta instansi terkait sangat diharapkan dengan mengedepankan kebersamaan dalam rangka menyelesaikan permasalahan, melalui komunikasi sosial sebagai sarananya. Dengan Komunikasi sosial juga kita dapat mewujudkan setiap daya dan upaya yang berdaya guna dan berhasil guna, agar dapat diaplikasikan serta dikerahkan kepada penyelesaian setiap permasalahan sosial di wilayah.

            Saat ini Negara kita sedang membangun serta berupaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, guna menunjang peningkatkan kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada pelaksanaan kegiatan pembangunan, pada hakikatnya memerlukan komunikasi antara institusi dengan masyarakat. Komunikasi sosial dalam pembangunan yang berdasarkan aspirasi masyarakat merupakan wujud dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat artinya melalui aspirasi pembangunan direncanakan, dibangun, dikelola dan dinikmati oleh masyarakat. Sasaran pembangunan yang diharapkan adalah sasaran yang benar-benar menyentuh langsung kepada kebutuhan masyarakat (Buttom Up) sesuai dengan aspirasi masyarakat. Pembangunan yang merupakan wahana dari atas (Top Down) hanya memerlukan sosilisasi yang baik antara pihak pelaksana dengan masyarakat sebagai penerima.

            Namun dalam upaya peningkatan tersebut ada beberapa kejadian yang membuat kerugian dan menghambat laju pembangunan. Sebut saja kejadian Konflik komunal seperti yang terjadi di kota Tarakan Provinsi Kaltim pada tahun 2010 (Provinsi Kaltara saat ini), dimana targedi konflik antara suku Tidung dengan suku Pattinjo Letta mengakibatkan 30.000 warga Tarakan mengungsi. Sebagian dari mereka terdiri dari orang tua, perempuan dan anak-anak yang sekolahnya ditutup akibat konflik Tarakan. Korban tewas mencapai 6 orang. Tragedi konflik di kota Tarakan Provinsi Kaltara membuka mata kita bahwa Kota Tarakan yang terlihat aman dan tentaram, pada kenyataannya menyimpan potensi Konflik kekerasan di antara kelompok, etnis atau agama dapat terjadi sewaktu-waktu dan secara spontan.
            Konflik kekerasan seperti ini selalu melibatkan elit pemimpin kelompok dan lapisan masyarakat menengah sebagai aktor sosial yang membangun solidaritas kelompok etnis, agama, atau daerah asal sebagai identitas perjuangan. Namun, tidak jarang pula konflik kekerasan itu direncanakan dalam masa tertentu oleh para aktor sosial untuk memperlihatkan perjuangan dan jati diri suatu kelompok etnis atau agama, untuk mendapatkan pengakuan lebih besar dalam politik, kekuasaan birokrasi, atau ekonomi. Bentuk konflik yang terjadi dapat dilihat dan dipahami dari tipikal gerakan sosial yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dalam memperjuangkan atau mempertahankan kepentingan kelompoknya (lihat Ethnic Conflict and Economic Development : A Policy Oriented Analysis, School of International Service, American University, 1996).
            Konflik komunal bagi kebanyakan negara yang sedang membangun, merupakan rintangan besar terhadap upaya untuk membangun persatuan dan kesatuan bangsa, serta membangun masyarakat dan pemerintahan yang demokratis ditengah bangsa yang majemuk ini. Menurut Clifford James Geertz, seorang ahli antropologi asal Amerika Serikat mengatakan bahwa fenomena yang seringkali terjadi ialah loyalitas individu-individu dalam masyarakat multi suku, ras dan agama di negara-negara sedang membangun, cenderung melebihi loyalitasnya kepada Negara dan Bangsa. Keadaan ini terjadi akibat masih kuatnya sentimen asal-usul seperti kesamaan bahasa, agama, keturunan, adat istiadat, daerah dan suku (etnik) yang kerap manjadi akar pemicu terjadinya konflik (Geertz, 1968).
            Pengaruh nilai-nilai global telah ikut mewarnai seluruh aspek kehidupan, sehingga eksesnya telah mempengaruhi kondisi bangsa ini yang semula dikenal santun, solidaritas tinggi, saling menghormat antar sesama berubah menjadi sebaliknya.   Banyak orang dengan mudah menuntut, mudah bertindak anarkhis, tidak saling mempercayai, curiga yang berkelebihan, menganggap orang lain selalu salah, dan bahkan menyimpang dari hukum. Dampak yang ditimbulkan konflik komunal dapat berupa kemunduran ekonomi rakyat, ketidakstabilan politik, korban jiwa manusia dan luka-luka sehingga menghambat pelaksanaan pembangunan ekonomi dan sosial.
Sejarah telah mencatat bahwa konflik kekerasan berskala luas yang terjadi di beberapa negara sedang membangun selalu memperlihatkan ketertinggalannya, bukan kemajuan dari sisi ekonomi dan sosial (lihat Stewart 2005). Oleh sebab itu, konflik yang terjadi dalam masyarakat majemuk perlu ditangani dan dicegah agar tidak berkembang menjadi konflik berskala luas yang akan menggangu stabilitas keamanan, kesetabilan politik, serta kemajuan ekonomi dan sosial.

Memahami kondisi sosial masyarakat Kota Tarakan, maka dapat dipelajari dari kondisi wilayah Kota Tarakan sebagai berikut. Masyarakat Kota Tarakan merupakan masyarakat yang majemuk terdiri suku, agama, ras serta golongan dengan wilayahnya yang berada pada sebuah pulau kecil dan memiliki luas wilayah 250,80 km², Kepadatan penduduk saat ini sebesar 687 jiwa/Km. Penduduk Kota Tarakan sesuai dengan data Badan Kependudukan Catatan Sipil dan Keluarga Berencana, berpenduduk sebanyak 239.787 jiwa. Kota Tarakan merupakan satu-satunya kota di Provinsi Kalimantan Utara dan juga merupakan kota terkaya ke-17 di Indonesia.
Secara demografi suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Sedangkan dari adanya kesamaan bahasa dan agama  seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir, kesepuluh daerah tersebut adalah Kota Tarakan, Kab. Malinau, Kab. Bulungan, Kab. Nunukan, Kab. Tana Tidung, Kab. Berau, Kab. Kutai Kartanegara, Kota Tawau, Kota Sandakan dan Kota Lahad Datu, sedangkan suku Pattinjo Letta adalah suku yang berasal dari Sulawesi sehingga perlu diwaspadai adanya pengerahan masa yang dapat memperkeruh suasana.
Permasalahan konflik di Kota Tarakan ditengarai terjadi akibat kurangnya komunikasi sosial antar masyarakat yang multikultural di Kota Tarakan, disamping permasalahan ekonomi, politik dan hukum. Kurangnya perhatian pemerintah daerah terhadap realitas multikulturalisme yang dapat berbenturan sehingga berdampak konflik. Rendahnya penegakan hukum yang melibatkan etnis, menjadikan kasus berkembang menjadi konflik. Pada kehidupan sosial di Kota Tarakan yang cenderung individualistis, jarang sekali pemerintah daerah mengadakan pertemuan rutin dengan tokoh adat, agama dan masyarakat sehingga terjadi lack of communication atau kurangnya komunikasi.
Dalam kebudayaan di Indonesia pada umumnya memiliki tokoh dalam struktur kekerabatan di masyarakat, ada tokoh yang menasehati seperti kepala adat dan ada yang mendengarkan nasehat itu. Jika terdapat perbedaan pendapat maka mereka tokoh masyarakat tadi seperti “alim ulama”, “guru” dan “pemerintah” (dalam adat), maju kedepan dan mengarahkan apa yang harus dikerjakan oleh struktur “rakyat biasa,” hal ini yang dimaksudkan memiliki struktur yang jelas. Sayangnya, pembinaan terhadap tokoh-tokoh adat dalam masyarakat (adat) Indonesia tidak terus dipelihara.
Pihak Kepolisian dan Satuan komando kewilayahan telah berupaya mengatasi konflik-konflik tersebut melalui komunikasi sosial guna memadukan segala kemampuan sumber daya yang ada namun belum optimal sehingga merebak konflik komunal di Kota Tarakan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik adalah, tidak adanya sistim peringatan dini sebagai peringatan awal guna mencegah dan merdam konflik. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat serta pengatahuan dalam bidang hukum maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta rendahnya tingkat kemampuan personel untuk melaksanakan komunikasi sosial dengan cara negosiasi, sosialisasi, analisa masalah, identifikasi masalah, penentuan tindakan, meredam konflik dan penindakan pada saat sebelum, selama serta Pasca Konflik.
Hingga saat ini, konflik tersebut telah dapat diatasi oleh aparat, dengan terciptanya kembali keamanan di masyarakat. namun belum dapat dikatakan harmonis dan stabil. Langkah-langkah rehabilitasi sosial dan pembangunan kembali infrastruktur terus dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Kondisi yang aman ini diupayakan untuk terus dipelihara dan dipertahankan, melalui pembinaan secara terus-menerus kepada setiap komponen yang ada di masyarakat, untuk secara aktif berpartisipasi dalam penciptaan kondisi yang menunjang stabilitas keamanan di daerah, serta menjaga kodisi sosial yang ada agar tidak ada lagi celah pertikaian, sebab tidak menutupi kemungkinan konflik yang sama akan terulang kembali dan bahkan bisa terjadi lebih besar lagi dari yang pernah kita duga sebelumnya.

            Menanggapi masalah konflik komunal di Indonesia, Kapolda Bengkulu  Brigjen Pol Albertus Julius Beny Mokalu, menyatakan didepan semua tokoh yang berbicara dalam acara Coffee Morning yang diadakan di Grage Horizon Bengkulu bahwa, dengan komunikasi yang baik antar masyarakat akan dapat mencegah berbagai konflik sosial yang melanda beberapa daerah di Indonesia.  “Saat ini konflik banyak terjadi di masyarakat karena buntunya komunikasi di dalam masyarakat”. Karena buntunya komunikasi tersebut sehingga mengakibatkan timbulnya krisis kepercayaan terutama kepada pemimpin ataupun aparat penegak hukum, akhirnya masyarakat mengambil langkah sendiri atau menggunakan hukum rimba dalam menyelesaikan masalah. Selain masalah komunikasi, penegakan hukum yang tidak tegas, kesenjangan ekonomi dan pendidikan serta banyaknya pemimpin yang tidak dipercaya lagi. (http:// bengkuluekspress.com/ cegah-konflik-sosial-dengan-komunikasi/, Jumat, 21/12/2012 )
            Demikian juga pendapat seorang ahli “Coser” mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
            Potensi konflik antar kelompok masyarakat yang berbeda suku, ras dan agama sejatinya dapat diminimalisir melalui pendekatan ”Komunikasi sosial” agar tidak berkembang menjadi konflik kekerasan yang akan membuat kesulitan bagi negara dalam membangun integrasi Nasional. Komunikasi sosial dapat meretas sikap individu-individu yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok, dengan prasangka-prasangka yang membentuk pandangan streotip negatif, jarak sosial, dan diskriminasi terhadap kelompok lainnya. Bila potensi konflik ini terus dikembangkan oleh para aktor sosial (social actors) sampai pada level masyarakat akar rumput, maka hal ini akan menjadi ”pupuk” bagi berkembangnya konflik kekerasan komunal dalam masyarakat.
            Pendekatan antara masyarakat dengan institusi terkait melalui Komunikasi sosial, dapat diwujudkan apabila terjadi interaksi sosial dengan inovasi-inovasi baru sebagai konsekuensi wujud dari tujuan/kebutuhan yang sama. Inovasi-inovasi baru yang muncul tersebut dapat diimplementasikan dalam mengatasi permasalahan yang timbul dalam suatu sistem sosial yang ada dimasyarakat dan mengurangi gesekan-gesekan dimasyarakat.  Permasalahan-permasalahan dalam komunitas masyarakat, perlu mendapatkan perhatian oleh sistem sosial yang ada terutama hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial yang bersifat menunjang kehidupan masyarakat. Implementasi yang paling penting adalah membangun pemahaman tentang pentingnya “komunikasi” dan cara “berinteraksi”  antara masyarakat dengan intitusi terkait sehingga akan terjadi kesejahteraan yang diharapkan.

            Satuan komando kewilayahan dalam menghadapi konflik sosial di wilayah harus dapat berperan sebagai institusi/lembaga yang berfungsi sebagai jalan keluar, untuk meredakan permusuhan yang dilakukan melalui komunikasi sosial kepada masyarakat. Dalam perspektif Lewis A.Coser seorang ahli sosiologi, bahwa untuk mengatasi konflik dibutuhkan suatu institusi pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem atau struktur sebagai katup penyelamat yang berfungsi sebagai jalan ke luar untuk meredakan permusuhan. Tanpa institusi/lembaga itu maka hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Sebagai contoh badan perwakilan mahasiswa. Lembaga tersebut membuat kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem tersebut.
            Para ilmuan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan timbal balik, bagaikan dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya. Komunikasi sosial dapat memberikan pemahaman baru sehingga merubah Mindset  (Paradigma) dan merubah prilaku ke arah yang diharapkan. Dalam pembentukan budaya, maka komunikasi sosial diarahkan kepada pembentukan budaya dalam masyarakat melalui penyuluhan maupun dialog tentang wawasan kebangsaan maka masyarakat akan mengerti dan paham tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan pancasila dan UUD 45, menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
            Dalam rangka menghadapi adanya potensi konflik dari Bangsa yang majemuk ini, serta upaya pencegahan dan penanganan konflik komunal yang terjadi khususnya di wilayah kota Tarakan, antara suku Tidung maupun suku Pattinjo Letta, maka komunikasi sosial sebagai salah satu metoda Binter sangat mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas pokok TNI AD. Kegiatan komunikasi sosial dapat dilakukan dengan perencanaan dan kegiatan serta kemampuan untuk memelihara serta meningkatkan keeratan hubungan dengan segenap komponen bangsa yang dilaksanakan guna terwujudnya rasa saling pengertian dan kebersamaan yang memungkinkan timbulnya keinginan masyarakat untuk berpartisipasi pada kepentingan pertahanan Negara, meliputi upaya untuk meningkatkan pemahaman bagi segenap komponen bangsa terhadap pertahanan Negara, ketahanan wilayah, wawasan kebangsaan, persatuan dan kesatuan bangsa serta pembentukan karakter bangsa.

            Langkah-langkah strategi penanganan konflik pada penanganan konflik sosial di Kota Tarakan, dapat dilakukan oleh Satuan komando kewilayahan Kota Tarakan dengan tahapan, pada saat “Sebelum Terjadi Konflik”, “Selama Terjadi Konflik” dan “Sesudah Terjadi Konflik” melalui pendekatan penyelesaian konflik yang dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama /tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut, maka pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial diarahkan untuk membantu mengatasi konflik komunal yang dijabarkan sebagai berikut.
            “Sebelum terjadi konflik”, satuan komando kewilayahan Kota Tarakan perlu melakukan pembinaan teritorial dengan metode komunikasi sosial kepada aparat pemerintahan, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat Kota Tarakan secara rutin agar terbentuk kesamaan langkah dan pikiran untuk membangun kehidupan yang harmonis di Kota Tarakan. Komunikasi sosial diarahkan kepada pembinaan mental spiritual, pembentukan budaya serta negosiasi, yang dapat dilaksanakan melalui coffee morning atau pertemuan ringan saat minum kopi atau minum teh bersama, untuk bertatap muka atau anjangsana dengan mendatangi tokoh masyarakat maupun melalui sosialisasi, penyuluhan atau dialog.
            Saat terjadi konflik. Pada tahap selama terjadi Konflik”, Perspektif konflik karya ahli sosiologi JermanGeorge Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat, “semakin besar derajat keterlibatan emosional dari kelompok-kelompok dalam suatu konflik, semakin besar kemungkinan konflik menjadi bersifat violent.”  Dalam kasus Tarakan ini, untuk memecahkan persoalan konflik secara permanen dan merajut kembali perdamaian, maka harus dilakukan berbagai langkah strategis. Komunikasi sosial diarahkan kepada upaya untuk membantu menentukan langkah-langkah penanganan konflik, diawali dengan pengidentifikasian masalah, penentuan tindakan, meredam konflik, penindakan dan negosiasi, rekonsilasi dan rekonstruksi.
            Setelah terjadi konflik. Setelah terjadi konflik (Pasca konflik), maka upaya yang harus dilakukan adalah membangun perdamaian pasca-konflik diarahkan kepada dua masalah utama yang harus dipecahkan, yaitu bagaimana mencegah agar konflik tidak kembali terjadi serta mendorong tercapainya konsolidasi perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Kedua masalah ini menjadi tugas utama bekerjanya kelembagaan pembangunan perdamaian pasca-konflik. Kapasitas kelembagaan untuk mengatasi kedua masalah ini sangat menentukan keberhasilan pembangunan perdamaian pasca-konflik. Komunikasi sosial diarahkan kepada upaya untuk membantu menentukan langkah-langkah penanganan pasca konflik, dengan tahapan rehabilitasi, rekonstruksi serta pembinaan.
            Pada tahap sebelum terjadi konflik, Komunikasi sosial dilaksanakan melalui teknik penyuluhan atau dialog yang diarahkan kepada pendekatan kemasyarakatan guna mewujudkan sistim peringatan dini, pembentukan mental spiritual dan kejuangan, pembentukan budaya dan tenik negosiasi yang disampaikan oleh personel yang telah memiliki pengetahuan dan menguasai materi yang akan disampaikan, menguasai ilmu-ilmu sosiologi, memiliki sikap, mental, prilaku dan penampilan yang dapat diterima oleh masyarakat, secara umum dapat meyakinkan terhadap isi pesan yang akan disampaikan, sebab  tanpa orang-orang ahli dan profesional, tentunya tidak akan efektif dalam pelaksanaannya, artinya penyuluhan tidak dapat menemukan minat dan kebutuhan masyarakat, sehingga penggunaan metode yang diharapkan tidak sesuai dengan kondisi lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan nilai sosial budaya masyarakat.
            Sistim peringatan dini sangat dibutuhkan untuk dapat mengambil langkah antisipatif menghadapi kemungkinan konflik. Tanpa adanya sistim peringatan dini, bisa dipastikan penanganan konflik akan terlambat. Pada tataran organisasi masyarakat yang paling rendah ditingkat Desa, kelurahan, Kecamatan, Kota Madya sampai dengan tataran yang paling tinggi ditingkat provinsi, perlu di petakan  wilayah potensi konflik,  melalui berbagai media komunikasi, dan media masa cetak maupun elektronik, agar dapat disampaikan berbagai informasi  mengenai potensi konflik di daerah tertentu. Dengan berjalannya system peringatan dini, diharapkan konflik yang lebih besar dapat dihindari. Satuan komando kewilayahan dalam membangun sistim peringatan dini, dilaksanakan dengan teknik tatap muka, anjangsana dan dialog, yang diarahkan untuk membentuk kelompok kerukunan di masyarakat serta mendata tokoh didalamnya agar lebih terorganisir sehingga memudahkan dalam pengendaliannya. Selanjutnya membentuk mitra karib untuk dapat bekerjasama memberikan informasi maupun menangani kejadian sehingga dapat diantisipasi langkah-langkah guna penanganan konflik.
            Dalam pembentukan mental spiritual, pada saat sebelum terjadi konflik, dilaksanakan melalui komunikasi sosial dengan teknik penyuluhan dan sosialisasi yang diarahkan pada kegiatan berkaitan dengan pembentukan mental dan kejuangan, kesadaran berbangsa dan bernegara, bela negara, persatuan dan kesatuan, nasionalisme, wawasan kebangsaan, pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan cinta tanah air, ditujukan untuk menumbuhkan perubahan yang dikehendaki yaitu perubahan perilaku menjadi budaya yang dapat berdayaguna dan berhasilguna serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. “Bhinneka Tunggal Ika harus tetap di pertahankan, dan pertemuan, tatap muka serta anjangsana perlu secara rutin dilaksanakan sehingga timbul komunikasi yang positif untuk menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan yang solid dalam rangka menghadapi potensi konflik yang ada.
            Teknik Negosiasi perlu dipersiapkan secara dini melalui pendidikan dan latihan, agar dapat menyampaikan pesan kepada masyarakat untuk memperoleh pembelajaran dan pengalaman tentang segala sesuatu yang ia kerjakan, melalui upaya pemberdayaan dan kemampuan memecahkan masalah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah masing-masing, dengan prinsip kesetaraan dan kemitraan, keterbukaan, kesetaraan kewenangan, dan tanggung jawab serta kerja sama, yang ditujukan agar masyarakat berkembang menjadi dinamis dan berkemampuan untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupannya dengan kekuatan sendiri. Dalam kegiatan Negosiasi, maka komunikasi sosial melalui teknik negosiasi diarahkan kepada penyelesaian konflik sesuai nilai-nilai yang diinginkan masyarakat serta searah dengan kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
            Sebelum terjadi konflik, maka Komunikasi sosial dengan aparat penegak hukum penting dilaksanakan. Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa perilaku menyimpang ataupun menyelaraskan diri ditentukan oleh konsekuensi-konsekuensi imbalan dan sanksi yang menyertai perilaku itu. Suatu perilaku diperkuat oleh penghargaan atau penghindaran hukuman, dan diperlemah oleh pencegahan atau tak adanya penghargaan. Pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial kepada aparatur penegak hukum dengan cara dialog, untuk diarahkan kepada dukungan agar dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan baik, bersikap adil, jujur, bertindak tegas dan profesional, dapat bekerja dengan cepat dan cerdas (profesional) dalam meredam dan menyelesaikan konflik, memproses dan memberikan efek jera bagi para pelaku yang terbukti bersalah, seperti yang terjadi di kota Tarakan ini, sehingga hal ini kelak menjadi contoh bagi penyelesaian konflik dan penegakkan hukum pada kasus yang sama dimasa mendatang.
            Pada saat konflik terjadi, penanganan konflik sosial diawali dengan  pengidentifikasian masalah, dimana langkah ini bertujuan agar dapat menentukan tindakan penanganan konflik yang diharapkan. Kurangnya Informasi serta lemahnya dalam menganalisa suatu masalah maka output yang diperoleh juga akan menjadi lemah. Pada saat terjadi konflik maka Komunikasi sosial diarahkan kepada kegiatan menganalisa kejadian dalam rangka penentuan tindakan agar kegiatan yang telah ditentukan dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi nyata dilapangan. Komunikasi sosial dilaksanakan secara terus menerus kepada masyarakat yang bertikai agar konflik tidak bertambah luas, sehingga tujuan untuk meredam konflik dapat tercapai. Selanjutnya komunikasi sosial diarahkan kepada kegiatan penanganan konflik pada langkah penindakan dan negosiasi serta pasca konflik untuk dapat memperoleh kesepakatan maupun konsensus bersama, sehingga dapat dirumuskan 5 langkah penanganan konflik sosial melalui identifikasian masalah, penentukan tindakan, meredam konflik, penindakan dan negosiasi.
            Langkah identifikasi masalah dilaksanakan pada saat terjadi konflik, melalui komunikasi sosial yang diarahkan kepada kegiatan penganalisaan masalah, untuk memahami dengan tepat mengapa konflik terjadi, agar dapat ditemukan akar masalah yang akurat sehingga dapat menentukan langkah-langkah strategis penanganan konflik secara runtun. Satkowil dan Babinsa harus paham akan karakteristik wilayahnya, tentang apa dan bagaimana kondisi wilayah, karakter serta tempramen masyarakatnya. Persoalan apa saja yang sering terjadi dan merupakan kerawanan, apakah sering terjadi perkelahian, pencurian, pembunuhan atau tawuran serta apa saja yang dapat dijadikan sebagai bahan atau nilai untuk memahami masalah, kemudian diskusikan tentang cara untuk berdamai dalam kondisi kurangnya konsensus dan perbedaan, pada suatu kebijakan yang tumbuh di komunitas, agar dapat ditentukan tindakan pencegahan konflik yang kemudian dituangkan kedalam suatu konsep, sebelum menjelajahi bagaimana mencegah dan mengelola kejadian tersebut. Kekeliruan dalam melakukan diagnosis membawa akibat kekeliruan dalam menentukan tindakan. 
            Langkah penentuan tindakan dilaksanakan setelah pengidentifikasikan masalah. Pada langkah penentuan tindakan, prinsip-prinsip perdamaian harus tetap dikedepankan agar tidak terbuka peluang terjadinya konflik komunal yang lebih besar lagi dan destruktif. Pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial diarahkan kepada konsep “penentuan tindakan” yaitu konsep penentuan tindakan pada penanganan konflik, dengan melaksanakan komsos kepada komponen masyarakat, aparat pemerintah, serta aparat penegak hukum selaku penyelenggara kepemerintahan di daerah. Pada tahap penentuan tindakan, langkah negosiasi harus tetap diletakan didepan guna mengantisispasi kemungkinan ada celah terbuka yang harus ditangkap terhadap suatu peluang untuk kemungkinan bernegosiasi, walaupun secara teori disebutkan bahwa konflik komunal harus terjadi untuk diperoleh suatu kesepakatan baru sehingga dapat menjadi suatu konsensus yang telah disepakati bersama.

            Langkah negosiasi dilakukan melalui metode komunikasi sosial yang diarahkan kepada kegiatan pendekatan masalah, kemudian diskusikan permasalahan apa saja yang menjadi akar masalah dari konflik, termasuk masalah ekonomi, lapangan kerja dan penegakan hukum untuk dituangkan kedalam kegiatan negosiasi. Dalam kejadian konflik di Kota Tarakan, maka langkah negosiasi diperlukan guna memperoleh suatu konsensus yang telah ditetapkan bersama sehingga dapat dituangkan kedalam suatu “Deklarasi”, yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat agar dapat melangsungkan hidup dalam keragaman budaya di Kota Tarakan. Perbedaan menurut pandangan ahli sosiologi, merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial serta dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan.
            Dalam langkah penindakan menghadapi konflik di wilayah Kota Tarakan, maka komunikasi sosial diarahkan pada kegiatan penindakan dengan mengedepankan “negosiasi” agar dipeoleh suatu “konsensus” bersama, untuk dituangkan kedalam suatu deklarasi. Sedangkan langkah penyekatan dan pemisahan dikomunikasikan untuk mencegah bentrokan maupun adanya pengerahan masa dari luar wilayah yang dapat memperkeruh suasana dan dapat memakan korban. Perlu diwaspadai dan di antisipasi pintu-pintu masuk ke Kota Tarakan. Satkowil perlu melakukan analisa untuk mengantitisipasi kemungkinan terjadinya konflik dalam skala yang lebih luas lagi dengan melibatkan pengerahan masa dari luar wilayah ke Kota Tarakan. Ditinjau dari Adanya struktur dan kekerabatan berdasarkan kesamaan bahasa lainnya, baik dari pihak suku Tidung maupun suku Pattinjo Letta.
            Langkah ketiga “meredam konflik”. Setelah pengidentifikasian masalah dan penentuan tindakan, maka upaya meredam konflik dilaksanakan dengan menetapkan instrumen yang digunakan untuk mencegah, menghindari, meminimalkan, dan mengelola konflik antara berbagai kelompok atau menyelesaikan sengketa sebelum mereka berkembang menjadi konflik yang destruktif. Pada tahap meredam konflik, peran pemerintah daerah dan Satkowil sampai Babinsa sangat penting, sebagai instrumen untuk melaksanakan komunikasi sosial guna memelihara kondisi damai dalam masyarakat sampai tingkat desa dengan teknik tatap muka dan dialog untuk  mencapai solusi. Pemerintah daerah menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 38/2007, tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota, khususnya yang menyangkut urusan kesatuan bangsa, maka  pemerintah daerah dituntut untuk mencegah terjadinya konflik sosial di daerah.
            Komunikasi sosial dalam penanganan konflik. Pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial bersama pemerintah daerah, aparat keamanan dan Satkowil serta tokoh masyarakat sampai tingkat desa, untuk terus mendorong masyarakat yang berkonflik, membuat berbagai permufakatan damai. Pada tataran Babinsa (Kades), Danramil (Camat) sampai Dandim (Kapolres), pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial diarahkan kepada kegiatan untuk meredam potensi konflik, mendorong aparat penegak hukum pada tataran wilayah Kota sampai dengan Desa atau Kelurahan, dalam menegakan hukum tanpa diskriminasi. Berbagai bentuk kegiatan dalam rangka mengintensifkan dialog antar kelompok masyarakat mulai dari tataran desa, kelurahan, Kota madya, sampai dengan tataran yang paling tinggi ditingkat provinsi, perlu dilaksanakan untuk dapat meredam potensi konflik.
            Apabila konflik tidak dapat dicegah lagi, maka konflik sosial yang terjadi diatasi dengan penindakan, penyekatan dan pemisahan serta pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial yang dilakukan secara paralel, diarahkan kepada penghentian konflik dengan mengkomunikasikan tentang penanganan konflik sosial oleh pihak berwewenang sesuai UU No 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) dan UU no 24/2007 (BNPB) tentang penangulangan bencana sosial. Penghentian konflik yang diatur dalam UU PKS  itu lebih  menekankan  langkah-langkah  represif oleh aparat berwewenang  yang dikoordinasikan dan dikendalikan oleh Polri. Sedangkan UU no 24/2007 (BNPB) merupakan penanganan konflik sosial pada saat sebelum, selama dan sesudah terjadi konflik serta pasca konflik (rehabilitasi dan rekonstruksi).
            Selanjutnya kita perlu mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai. Mengembangkan system penyelesaian perselisihan secara damai selain menjadi bagian dari pointers perjanjian damai, berbagai konflik yang tidak dapat dihindari dilapangan harus segera diselesaikan dengan musyawarah mufakat, dan sangat menghindari menggunakan cara-cara  kekerasan. Penekanan kepada tokoh-tokoh adat, agama, dan masyarakat untuk segera bertindak untuk mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik harus bisa dilakukan. Peran kepala adat atau tokoh adat serta tokoh masyarakat sampai tingkat desa didukung oleh aparat Satuan komando kewilayahan sangat diharapkan.
            Langkah keempat “penindakan”, pembinaan teriorial melalui komsos berperan sebagai tim negosiasi bersama aparat pemerintah dan tokoh masyarakat. satuan tugas yang telah disiapkan setelah mengadakan penyekatan serta pemisahan antara kelompok masyarakat yang bertikai, selanjutnya Tim negosiasi beserta tokoh masyarakat yang telah terbina, mencari tokoh masyarakat yang bertikai untuk di ajak berunding baik secara persuasif maupun secara paksaan dengan teknik Negosiasi, dan dilaksanakan ditengah pelaku konflik, dengan maksud untuk mencapai kompromi atau kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak ke arah hasil yang positif bagi kepentingan bersama. Apabila kedua belah pihak masih berkeras maka aparat akan mengadakan penekanan kepada masyarakat yang bertikai, untuk memperoleh nilai tawar agar mau bernegosisasi.
            Langkah pencegahan kerumunan masa. Pencegahan kerumunan masa dilakukan untuk mencegah terbentuknya kerumunan masa dengan cara segera menangkap dan menyingkirkan pembuat keributan, kemudian memerintahkan para penonton untuk bubar, meniadakan kerumunan, menghadapi kericuhan yang mengancam dengan menampilkan ‘pameran kekuatan’ (show of force), mengisolasi wilayah kerusuhan dan menyuruh orang-orang pergi, serta melarang orang-orang luar untuk masuk ke wilayah tersebut atau mencegah orang dari luar daerah masuk ke Kota Tarakan.
            Pembubaran kerumunan. Perilaku kolektif saat terjadinya konflik di Tarakan tidak luput dari perilaku kerumunan (crowd). Menurut Le Bon dalam Robertson (1978), kerumunan mempunyai ciri-ciri baru yang semula tidak dijumpai pada masing-masing anggotanya. Dalam kasus Tarakan ini adalah kelompok PUSAKA.  Dalam kerumunan prilaku seseorang dapat berubah menjadi individu yang berperilaku tidak sesuai dengan norma, atau menyimpang yang selama ini tidak pernah dilakukannya. Sebagai contoh adanya prilaku merusak properti orang lain atau menghancurkan fasilitas-fasilitas umum, menganiaya orang, bahkan melakukan pembunuhan.
            Langkah kelima “Negosiasi”. Komunikasi sosial dilakukan pada langkah negosiasi. Negosiasi adalah suatu cara bertindak ditengah pelaku konflik. Negosiasi dalam kamus “Oxford Dictionary” didefinisikan sebagai : pembicaran dengan orang lain dengan maksud untuk mencapai kompromi atau kesepakatan, untuk mengatur atau mengemukakan.” (tawar-menawar, perundingan, perantaraan atau barter). Dengan kata lain, negosiasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu keadaan yang dapat diterima kedua belah pihak atau membutuhkan kerjasama kedua belah pihak untuk mencapainya. Dengan demikian, setiap konflik komunal relatif dapat diredam. Keberhasilan mengatasi konflik merupakan bagian integral dari upaya mewujudkan “keamanan dan ketertiban umum” (general security and order).
            Dalam pembangunan perdamaian pasca-konflik, maka pencegahan konflik (conflict prevention) dan pemeliharaan perdamaian (peace keeping) harus dipadukan dan dijalankan secara berlanjut melalui komunikasi sosial. Bahkan, dalam situasi khusus ketika perjanjian damai gagal dijalankan dan masyarakat pasca-konflik kembali jatuh dalam konflik. Pendekatan penciptaan perdamaian (peace making), komunikasi sosial masih harus terus digunakan. Belajar dari pengalaman di berbagai peristiwa konflik, perjanjian damai seringkali gagal mencapai konsolidasi perdamaian, dan karena itu konflik mudah kembali terjadi (recurring conflict), akibat dari kurang kuatnya konsensus dan nilai-nilai pencapaian perdamaian serta lemahnya kelembagaan yang ada dalam mengimplementasikan perjanjian damai. Selain itu, kuatnya tertanam sejarah dan siklus konflik kekerasan di masa lalu.
            Besarnya dampak kekerasan dan masalah-masalah ketidakadilan serta kesenjangan sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat pasca-konflik, seperti yang terjadi pada tragedi “Sampit” Kalimantan Tengah, dimana pengusiran etnis Madura keluar daerah secara besar-besaran terjadi. Komunikasi sosial dalam penanganan konflik sosial diarahkan kepada pendekatan budaya, cara ini cukup efektif dilakukan seperti kejadian konflik di Kabupaten poso, dapat diselesaikan dengan pendekatan adat istiadat melalui komunikasi sosial dan akan jauh lebih permanen dalam penyelesainnya bila dibandingkan dengan pendekatan “hukum” untuk menghindari kemungkinan masih adanya ganjalan-ganjalan antara kedua belah pihak yang sewaktu-waktu dapat menimbulkan konflik. Pemimpin kedua belah pihak bersama dengan pemerintah dan seluruh organisasi masyarakat adat setempat, bekerjasama melakukan komunikasi sosial ke seluruh lapisan masyarakat.
            Komunikasi sosial diarahkan kepada penyelesaian masalah pasca konflik serta untuk merdam dan mencegah timbulnya kembali konflik yang sama dimasa mendatang. Pemerintah Daerah perlu mengambil langkah rekonsilasi untuk menuntaskan permasalahan serta implementasi pelaksanaan perjanjian atau deklarasi yang meliputi rehabilitasi sarana dan prasarana umum dan rehabilitasi perumahan yang hancur akibat konflik. Komunikasi sosial diarahkan kepada upaya-upaya agar penanganan pengungsi dan pengembalian pengungsi pasca akte perdamaian dapat dilaksanakan. Penyelesaian permasalahan pengungsi melalui upaya rekonsiliasi yang intensif serta dukungan dari berbagai pihak yang bertikai, lembaga pemerintah maupun masyarakat untuk mengupayakan situasi yang lebih kondusif. Sosialisasi kepada masyarakat mengenai rencana penyelesaian masalah pengungsi secara menyeluruh.
Menjalankan konsensus yang telah ditetapkan, membangun sarana dan prasarana publik yang sempat dirusak, mengembalikan roda perekonomian serta menjalankan roda pemerintahan agar kembali normal. Pihak Polri dan Satuan Komando Kewilayahan terus berupaya memulihkan kondisi keamanan dan melakukan penegakan hukum. Usaha-usaha pengembangan perdamaian pada masyarakat dengan sifat dasar yang berbeda dapat dilaksanakan melalui pendekatan budaya yang cukup efektif melalui komunikasi sosial dan Bakti TNI. Komuniasi sosial pasca konflik dilaksanakan dengan teknik penyuluhan, sosialisasi dan dialog, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan sikap toleransi juga dilakukan untuk memberikan pendidikan tentang berbangsa dan bernegara, wawasan kebangsaan, 4 Pilar Bangsa yaitu Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhineka Tunggal Ika serta merubah prilaku masyarakat yang dapat di implemetasikan dalam kehidupan sehari-hari,
            Pembinaan teritorial melalui komsos diarahkan untuk pemihakan dan pemberdayaan (affirmative action and empowerment) penduduk lokal terutama dalam bidang pendidikan. Komunikasi sosial dengan aparat hukum di daerah, dengan memantau setiap kejadian serta mengkomunikasikannya kepada aparat penegak hukum, agar dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan baik, bersikap adil, jujur, bertindak tegas dan profesional; sehingga mampu mencegah meletusnya kembali konflik, dan para pengungsi yang diusir dari rumah-rumah mereka karena dibakar dan dihancurkan massa, dengan bantuan pemerintah daerah, mereka dapat kembali secara damai ke tempat mereka semula dengan jaminan keamanan, sehingga dapat hidup normal seperti sedia kala.
            Komsos dengan aparat pemerintah daerah. Pada permasalahan tentang pendapat masyarakat atas kurang seriusnya Pemerintah daerah menangani permasalahan di daerahnya, sehingga menimbulkan persepsi bahwa, Pemda melakukan pembiaran dalam mengatasi permasalahan  kesenjangan sosial budaya dan ekonomi antara suku Tidung dan suku Pattinjo Letta, yang menyebabkan permusuhan ini semakin meluas. Maka pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial diarahkan kepada pembinaan aparat pemerintah dan komponen masyarakat. Dalam permasalahan ini, pada tataran Babinsa, Danramil sampai Dandim perlu melaksanakan komunikasi sosial kepada aparat pemerintah daerah/desa untuk mendiskusikan serta mencari jalan keluar terbaik, dengan sasaran timbulnya kepedulian pemerintah daerah terhadap kesenjangan sosial budaya dan ekonomi antara suku Tidung dan suku Pattinjo Letta di Kota Tarakan untuk lebih sering bertemu dan berdialog. Hasil-hasil pertemuan itu disosialisasikan ke kelompok masing-masing yang bertikai melalui mitra karib yang terbentuk sebagai sistim peringatan dini didaerah sampai ke desa. Dengan melakukan berbagai upaya serta diciptakan iklim yang dinamis dan dialogis; maka konflik sosial seperti yang telah terjadi dapat diselesaikan dengan baik, damai dengan penuh semangat kekeluargaan dan persahabatan.
Akhir kata. Realita bahwa masyarakat Kota Tarakan sejatinya merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman budaya yang sangat kompleks dan disebut “Multikulturalisme”, serta memiliki resiko terjadinya benturan budaya yang apabila tidak ditangani secara serius akan dapat menimbulkan permasalahan konflik dan kekerasan komunal terhadap kelompok masyarakat lainnya yang berbeda suku, agama, atau golongan ras. Adanya potensi konflik tersebut diakibatkan oleh kebuntuan komunikasi yang menyebabkan benturan budaya, perbedaan idiologi, kepentingan politik dan ekonomi bersifat internal sehingga melahirkan cultural shock di kalangan penduduk asli. Kecemburuan sosial budaya dan ekonomi, pada kenyataanya mengendap, mengacu pada kondisi ketiadaan norma (social normlessnes) dan pada akhirnya menimbulkan rasa iri dan dendam sehingga memicu terjadinya konflik.
Pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial merupakan suatu metode yang dapat dilaksanakan dalam upaya penyelesaian masalahan konflik komunal di Kota Tarakan dengan tujuan untuk membangun konsep diri, kebudayaan, kelangsungan hidup dan aktualisasi diri yang diarahkan kepada penanganan konflik sosial melalui perencanaan dan kegiatan untuk memelihara serta meningkatkan keeratan hubungan dengan segenap komponen bangsa, dengan pentahapan sebelum, selama dan sesudah konflik terjadi guna menangani potensi konflik di masyarakat. Dalam kegiatan penanganan konflik sosial, maka pengidentifikasian masalah, penentuan tindakan serta negosiasi, dalam suatu kejadian maupun dalam suatu persepsi ancaman diperlukan, agar dapat menentukan tindakan serta untuk mencapai suatu keadaan yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang dituangkan kedalam suatu konsep manajemen, sebelum menjelajahi bagaimana mencegah dan mengelola kejadian,agar diperoleh suatu konsensus yang dapat dituangkan kedalam akta perdamaian menjadi suatu deklarasi yang dapat diterapkan pada pasca konflik. 
Dalam rangka menciptakan kondisi wilayah yang kondusif maka disarankan sebagai berikut :
Satuan komando kewilayahan perlu membangun sistim peringatan dini di wilayah melalui komunikasi sosial, dalam wujud mitra karib yang dapat berfungsi sebagai peringatan dini terhadap potensi konflik, dengan memanfaatkan sarana dan prasarana komunikasi yang ada.
Satuan Komando kewilayahan agar membentuk kelompok-kelompok kerukunan yang solid melalui komunikasi sosial serta membina seluruh komponen masyarakat yang ada secara intensif sehingga terbentuk kesatuan kerukunan masyarakat adat yang solid dalam rangka membina kerukunan bangsa di wilayah
Satuan komando kewilayahan agar membentuk tim negosiasi dan sosialisasi serta melatihkannya, agar dapat melaksanakan tugas untuk Menganalisa, Mengidentifikasi, Menentukan tindakan, Negosiasi serta Mensosialisasikan, dalam rangka penanganan konflik social sesuai perundang undangan yang ada.
Satuan komando kewilayahan agar melaksanakan komunikasi sosial kepada pemerintah daerah, aparat penegak hukum dan masyarakat untuk mensosialisasikan perdamaian, membangun sarana dan prasarana yang hancur, penegakan hukum yang jujur dan adil dalam rangka menciptakan kondisi wilayah yang kondusif.
Demikian tulisan kami dibuat, memohon maaf apabila ada kekurangan serta kata kata yang kurang berkenan.

No comments:

Post a Comment