Makhluk sosial merupakan zoon
politicon, yang berarti manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan
berinteraksi satu sama lain, hal ini dikemukakan oleh ahli sosial aristoteles.
Untuk dapat berinteraksi maka komunikasi
sosial adalah persyaratan yang utama yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia dan tak dapat dipisahkan, karena manusia tercipta
sebagai mahluk sosial. Hal terpenting dalam
komunikasi yaitu adanya kegiatan saling menafsirkan perilaku seperti pembicaraan,
gerakan-gerakan fisik, atau sikap dan perasaan-perasaan yang disampaikan, melalui kemampuan komunikasi
interpersonal sebagai suatu tingkat kecakapan yang harus
dibawa individu dalam melakukan interaksi dengan individu dalam melakukan
interaksi dengan individu lain atau sekelompok individu (Goldstein, 1982).
Mempelajari
kehidupan Bangsa Indonesia yang beragam atau dikenal
“Multikulturalisme”, realitanya
banyak mengandung berbagai kebijakan kebudayaan, yang menekankan penerimaan
terhadap perbedaan ideologi, kepentingan
politik dan ekonomi serta
adanya potensi konflik berupa benturan budaya yang bersifat internal dan tidak mungkin dihilangkan sama
sekali sehingga peran Komunikasi sosial sangat dibutuhkan.
Komunikasi Sosial dalam
pembinaan teritorial TNI-AD, merupakan salah satu metode yang dapat
dilaksanakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh satuan jajaran TNI
AD, namun dalam pelaksanaannya masih belum optimal, oleh karena itu perlu
adanya langkah-langkah yang konkrit agar pelaksanaan Komunikasi Sosial dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam
perjalanan sejarahnya, bangsa Indonesia mengalami berbagai, ancaman, gangguan
hambatan dan tantangan dari bergulirnya proses reformasi, demokratisasi serta
periode perubahan ekonomi yang pesat serta diwarnai oleh konflik komunal,
bencana alam, korupsi dan separatisme. Dalam dinamika keamanan nasional, konflik komunal dapat dipandang sebagai
ancaman keamanan yang perlu ditangani secara bijak melalui penyelenggaraan
komunikasi sosial yang intensif. Konflik-konflik kekerasan komunal yang terjadi pada masa
lalu bukan mustahil akan menjadi model yang akan menginspirasi para aktor
sosial generasi baru untuk melakukan kekerasan komunal di masa yang akan
datang.
Memahami penyelenggaraan komunikasi sosial dalam menghadapi konflik kekerasan komunal serta untuk mengidentifikasi
beberapa penyebab yang terjadi dilapangan, maka perlu dilakukan komunikasi
sosial yang efektif guna memperoleh informasi, data dan fakta, agar dapat
dilakukan upaya-upaya untuk menangani masalahan konflik komunal, maka tulisan
dalam perspektif teoritis dan empiris ini mungkin berguna bagi upaya mengatasi
atau mencegah terjadinya konflik kekerasan komunal dalam masyarakat majemuk, Bagaimana
pengaruh komsos terhadap budaya dalam kehidupan sosial masyarakat?, Faktor apa
saja yang dapat menyebabkan konflik di wilayah ? Bagaimana komunikasi sosial
dapat mengatasi konflik komunal?
Untuk
menjawab pertanyaan di atas, maka dapat diambil beberapa Teori sebagai berikut,
Komunikasi sosial menurut pandangan pakar sosial Alfred Adler (1917) dalam
bukunya “The American Society of Individual Psychology”. bahwa manusia adalah
mahluk sosial, ia merupakan mahluk yang berdaya dan memiliki rasa sosial yang
dalam, sehingga itu pulalah ia dapat “survive” dalam menjalani hidup.
Komunikasi sosial memungkinkan individu membangun suatu kerangka rujukan dan
menggunakannya sebagai pantauan untuk menafsirkan, situasi apapun yang ia
hadapi. Komunikasi sosial juga memungkinkan seseorang untuk mempelajari dan
menerapkan strategi-strategi adaptif agar dapat mengatasi situasi-situasi
problematik yang ia alami. Tanpa melibatkan diri dalam suatu komunikasi,
seseorang tidak akan tahu bagaimana berinteraksi dan memperlakukan manusia lain
secara beradab, karena cara-cara berprilaku tersebut harus dipelajari lewat
pengasuhan keluarga dan pergaulan dengan orang lain.
Teori
konflik adalah teori
yang memandang bahwa perubahan sosial
tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai
yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik
yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula, teori
ini diperkenalkan oleh “Lewis A. Coser”, didasarkan pada pemilikan
sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
Teori konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial.
Perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik kepentingan, namun
pada suatu titik tertentu masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan bersama.
Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi
yang dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
Berdasarkan
Doktrin TNI AD “Kartika Eka Paksi” (KEP), bahwa Binter merupakan fungsi utama
TNI AD, sehingga Binter menjadi tugas yang harus dilaksanakan oleh seluruh
prajurit TNI AD. Binter yang dilaksanakan oleh Satuan komando kewilayahan
didaerah saat ini merupakan upaya, pekerjaan dan kegiatan yang berhubungan
dengan penyusunan, pengerahan dan pengendalian terhadap unsur-unsur wilayah
berupa Geografi, Demografi dan Kondisi sosial yang dilakukan melalui metode
Komunikasi sosial, Bakti TNI dan Bintahwil, dalam rangka mencapai Tugas Pokok
TNI AD.
Berdasarkan Doktrin TNI AD “Kartika Eka Paksi” (KEP), bahwa Binter
merupakan fungsi utama TNI AD, sehingga Binter menjadi tugas yang harus
dilaksanakan oleh seluruh prajurit TNI AD. Binter yang dilaksanakan oleh Satuan
komando kewilayahan didaerah saat ini merupakan upaya, pekerjaan dan kegiatan
yang berhubungan dengan penyusunan, pengerahan dan pengendalian terhadap
unsur-unsur wilayah berupa Geografi, Demografi dan Kondisi sosial yang
dilakukan melalui metode Komunikasi sosial, Bakti TNI dan Bintahwil, dalam
rangka mencapai Tugas Pokok TNI AD
melalui komunikasi sosial kita dapat
berkerja sama dengan komponen masyarakat (aparat pemerintah, tokoh agama, tokoh
adat dan tokoh pemuda secara keseluruhan) agar dapat berpartisipasi
membangun sikap toleransi, persatuan dan kesatuan, serta membangun kehidupan
sosial masyarakat majemuk menjadi sebuah keluarga dengan meretas perbedaan yang
ada, dalam rangka menciptakan perubahan pada suatu sistem sosial yakni
perubahan sosial (sosial changes) serta
menggunakannya sebagai sistim peringatan dini melalui kegiatan cegah dini dan
deteksi dini untuk penanganan konflik sosial diwilayah.
Komunikasi
sosial dapat dilakukan dengan teknik penyuluhan, tatap muka, dialog, olah raga
bersama maupun anjangsana untuk bersilaturahmi kepada masyarakat dalam rangka
mencapai suatu kebersamaan antara TNI-Rakyat. Komunikasi sosial melalui penyuluhan dapat berfungsi sebagai
penerangan, atau usaha penerusan suatu pesan maupun amanat kepada masyarakat
agar mereka mengerti dan sadar tentang persatuan dan kesatuan, terlepas dari
soal suka atau tidaknya mereka sebagai penerima. Penyuluhan/dialog dapat juga digunakan sebagai alat propaganda,
maupun sebagai usaha untuk mengubah perilaku sasaran secara emosional, sehingga
mereka memihak yang berpropaganda, demi keuntungan yang berpropaganda,
dengan mengedepankan aktualisasi integritas pada suatu tatanan negara kita,
dimana persatuan dan kesatuan bangsa menjadi pondasi guna mencapai kemajuan
bangsa ini.
Secara
sistimatis, bahwa permasalahan sosial yang timbul di wilayah harus dapat
ditanggapi oleh sistem sosial termasuk didalamnya adalah Satuan Komando
Kewilayahan. Sistem sosial yang ada ini harus mampu melihat permasalahan
yang timbul, untuk kemudian diatasi secara sinergis dengan seluruh komponen
yang ada. Koordinasi antara Satuan Komando Kewilayahan, masyarakat serta
instansi terkait sangat diharapkan dengan mengedepankan kebersamaan dalam
rangka menyelesaikan permasalahan, melalui komunikasi sosial sebagai sarananya.
Dengan Komunikasi sosial juga kita dapat mewujudkan setiap daya dan upaya yang
berdaya guna dan berhasil guna, agar dapat diaplikasikan serta dikerahkan
kepada penyelesaian setiap permasalahan sosial di wilayah.
Saat
ini Negara kita sedang membangun serta berupaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat,
guna menunjang peningkatkan kesejahteraan yang dapat dirasakan oleh seluruh
lapisan masyarakat. Pada pelaksanaan kegiatan pembangunan, pada hakikatnya memerlukan
komunikasi antara institusi dengan masyarakat. Komunikasi sosial dalam
pembangunan yang berdasarkan aspirasi masyarakat merupakan wujud dari
masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat artinya melalui aspirasi
pembangunan direncanakan, dibangun, dikelola dan dinikmati oleh masyarakat. Sasaran
pembangunan yang diharapkan adalah sasaran yang benar-benar menyentuh langsung
kepada kebutuhan masyarakat (Buttom Up) sesuai dengan aspirasi masyarakat. Pembangunan
yang merupakan wahana dari atas (Top Down) hanya memerlukan sosilisasi yang
baik antara pihak pelaksana dengan masyarakat sebagai penerima.
Namun
dalam upaya peningkatan tersebut ada beberapa kejadian yang membuat kerugian
dan menghambat laju pembangunan. Sebut saja kejadian Konflik komunal seperti
yang terjadi di kota Tarakan Provinsi Kaltim pada tahun 2010 (Provinsi Kaltara
saat ini), dimana targedi konflik antara suku Tidung dengan suku Pattinjo Letta mengakibatkan
30.000 warga Tarakan mengungsi. Sebagian dari mereka
terdiri dari orang tua, perempuan dan anak-anak yang sekolahnya ditutup akibat
konflik Tarakan. Korban tewas mencapai 6 orang. Tragedi konflik di kota
Tarakan Provinsi Kaltara membuka mata kita bahwa Kota Tarakan yang terlihat
aman dan tentaram, pada kenyataannya menyimpan potensi Konflik kekerasan di antara kelompok, etnis atau agama
dapat terjadi sewaktu-waktu dan secara spontan.
Konflik
kekerasan seperti ini selalu melibatkan elit pemimpin kelompok dan lapisan
masyarakat menengah sebagai aktor sosial yang membangun solidaritas kelompok
etnis, agama, atau daerah asal sebagai identitas perjuangan. Namun, tidak
jarang pula konflik kekerasan itu direncanakan dalam masa tertentu oleh para
aktor sosial untuk memperlihatkan perjuangan dan jati diri suatu kelompok etnis
atau agama, untuk mendapatkan pengakuan lebih besar dalam politik, kekuasaan
birokrasi, atau ekonomi. Bentuk konflik yang terjadi dapat dilihat dan dipahami
dari tipikal gerakan sosial yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dalam
memperjuangkan atau mempertahankan kepentingan kelompoknya (lihat Ethnic
Conflict and Economic Development : A Policy Oriented Analysis, School of
International Service, American University, 1996).
Konflik komunal bagi kebanyakan
negara yang sedang membangun, merupakan rintangan besar terhadap upaya untuk
membangun persatuan dan kesatuan bangsa, serta membangun masyarakat dan
pemerintahan yang demokratis ditengah bangsa yang majemuk ini. Menurut Clifford James
Geertz, seorang ahli antropologi
asal Amerika Serikat mengatakan bahwa fenomena yang seringkali terjadi ialah loyalitas
individu-individu dalam masyarakat multi suku, ras dan agama di negara-negara
sedang membangun, cenderung melebihi loyalitasnya kepada Negara dan Bangsa.
Keadaan ini terjadi akibat masih kuatnya sentimen asal-usul seperti kesamaan
bahasa, agama, keturunan, adat istiadat, daerah dan suku (etnik) yang kerap
manjadi akar pemicu terjadinya konflik (Geertz, 1968).
Pengaruh nilai-nilai global telah ikut
mewarnai seluruh aspek kehidupan, sehingga eksesnya telah mempengaruhi kondisi bangsa
ini yang semula dikenal santun, solidaritas tinggi, saling menghormat antar
sesama berubah menjadi sebaliknya. Banyak orang dengan mudah
menuntut, mudah bertindak anarkhis, tidak saling mempercayai, curiga yang
berkelebihan, menganggap orang lain selalu salah, dan bahkan menyimpang dari hukum.
Dampak yang
ditimbulkan konflik komunal dapat berupa kemunduran ekonomi rakyat,
ketidakstabilan politik, korban jiwa manusia dan luka-luka sehingga menghambat
pelaksanaan pembangunan ekonomi dan sosial.
Sejarah telah mencatat bahwa konflik
kekerasan berskala luas yang terjadi di beberapa negara sedang membangun selalu
memperlihatkan ketertinggalannya, bukan kemajuan dari sisi ekonomi dan sosial
(lihat Stewart 2005). Oleh sebab itu, konflik yang terjadi dalam masyarakat
majemuk perlu ditangani dan dicegah agar tidak berkembang menjadi konflik
berskala luas yang akan menggangu stabilitas keamanan, kesetabilan politik,
serta kemajuan ekonomi dan sosial.
Memahami
kondisi sosial masyarakat Kota Tarakan, maka dapat dipelajari dari kondisi
wilayah Kota Tarakan sebagai berikut. Masyarakat Kota Tarakan merupakan
masyarakat yang majemuk terdiri suku, agama, ras serta golongan dengan
wilayahnya yang berada pada sebuah pulau kecil dan memiliki luas wilayah 250,80
km², Kepadatan penduduk saat ini sebesar 687 jiwa/Km. Penduduk Kota Tarakan
sesuai dengan data Badan Kependudukan Catatan Sipil dan Keluarga Berencana,
berpenduduk sebanyak 239.787 jiwa. Kota
Tarakan merupakan satu-satunya kota di Provinsi Kalimantan
Utara dan juga merupakan kota terkaya ke-17 di Indonesia.
Secara demografi suku Tidung masih berkerabat
dengan suku Dayak
rumpun Murut
(suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Sedangkan dari adanya kesamaan bahasa dan
agama seperti suku Banjar, suku Kutai,
dan suku Pasir,
kesepuluh daerah tersebut adalah Kota Tarakan, Kab. Malinau, Kab. Bulungan,
Kab. Nunukan, Kab. Tana Tidung, Kab. Berau, Kab. Kutai Kartanegara, Kota Tawau,
Kota Sandakan dan Kota Lahad Datu, sedangkan suku Pattinjo Letta adalah suku yang berasal
dari Sulawesi sehingga perlu diwaspadai adanya pengerahan masa yang dapat
memperkeruh suasana.
Permasalahan konflik di Kota Tarakan ditengarai terjadi
akibat kurangnya komunikasi sosial antar masyarakat yang multikultural di Kota
Tarakan, disamping permasalahan ekonomi, politik dan hukum. Kurangnya perhatian
pemerintah daerah terhadap realitas multikulturalisme yang dapat berbenturan
sehingga berdampak konflik. Rendahnya penegakan hukum yang melibatkan etnis,
menjadikan kasus berkembang menjadi konflik. Pada kehidupan
sosial di Kota Tarakan yang cenderung individualistis, jarang sekali pemerintah
daerah mengadakan pertemuan rutin dengan tokoh adat, agama dan masyarakat
sehingga terjadi lack of communication
atau kurangnya komunikasi.
Dalam kebudayaan di
Indonesia pada umumnya memiliki tokoh dalam struktur kekerabatan di
masyarakat, ada tokoh yang menasehati seperti kepala adat dan ada yang
mendengarkan nasehat itu. Jika terdapat perbedaan pendapat maka mereka tokoh
masyarakat tadi seperti “alim ulama”, “guru” dan “pemerintah” (dalam adat),
maju kedepan dan mengarahkan apa yang harus dikerjakan oleh struktur “rakyat
biasa,” hal ini yang dimaksudkan memiliki struktur yang jelas. Sayangnya,
pembinaan terhadap tokoh-tokoh adat dalam masyarakat (adat) Indonesia tidak
terus dipelihara.
Pihak
Kepolisian dan Satuan komando kewilayahan telah berupaya mengatasi
konflik-konflik tersebut melalui komunikasi sosial guna memadukan segala
kemampuan sumber daya yang ada namun belum optimal sehingga merebak konflik
komunal di Kota Tarakan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik adalah, tidak adanya sistim peringatan dini sebagai peringatan
awal guna mencegah dan merdam konflik. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat
serta pengatahuan dalam bidang hukum maupun dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, serta rendahnya tingkat kemampuan personel untuk melaksanakan
komunikasi sosial dengan cara negosiasi, sosialisasi, analisa masalah,
identifikasi masalah, penentuan tindakan, meredam konflik dan penindakan pada
saat sebelum, selama serta Pasca Konflik.
Hingga
saat ini, konflik tersebut telah dapat diatasi oleh aparat, dengan terciptanya kembali
keamanan di masyarakat. namun belum dapat dikatakan harmonis dan stabil. Langkah-langkah
rehabilitasi sosial dan pembangunan kembali infrastruktur terus dilaksanakan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Kondisi yang aman ini diupayakan untuk
terus dipelihara dan dipertahankan, melalui pembinaan secara terus-menerus
kepada setiap komponen yang ada di masyarakat, untuk secara aktif
berpartisipasi dalam penciptaan kondisi yang menunjang stabilitas keamanan di
daerah, serta menjaga kodisi sosial yang ada agar tidak ada lagi celah
pertikaian, sebab tidak menutupi kemungkinan konflik yang sama akan terulang
kembali dan bahkan bisa terjadi lebih besar lagi dari yang pernah kita duga
sebelumnya.
Menanggapi
masalah konflik komunal di Indonesia, Kapolda Bengkulu Brigjen Pol
Albertus Julius Beny Mokalu, menyatakan didepan semua tokoh yang berbicara
dalam acara Coffee Morning yang
diadakan di Grage Horizon Bengkulu bahwa, dengan komunikasi yang baik antar
masyarakat akan dapat mencegah berbagai konflik sosial yang melanda beberapa
daerah di Indonesia. “Saat ini konflik
banyak terjadi di masyarakat karena buntunya komunikasi di dalam masyarakat”.
Karena buntunya komunikasi tersebut sehingga mengakibatkan timbulnya krisis
kepercayaan terutama kepada pemimpin ataupun aparat penegak hukum, akhirnya
masyarakat mengambil langkah sendiri atau menggunakan hukum rimba dalam
menyelesaikan masalah. Selain masalah komunikasi, penegakan hukum yang tidak
tegas, kesenjangan ekonomi dan pendidikan serta banyaknya pemimpin yang tidak
dipercaya lagi. (http://
bengkuluekspress.com/ cegah-konflik-sosial-dengan-komunikasi/,
Jumat, 21/12/2012 )
Demikian
juga pendapat seorang ahli “Coser” mengutip hasil pengamatan Simmel yang
meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bahwa
peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi
dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada,
berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok
tersebut dengan masyarakat.
Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator
adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi
yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan
merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial.
Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai
indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.
Potensi konflik antar kelompok
masyarakat yang berbeda suku, ras dan agama sejatinya dapat diminimalisir
melalui pendekatan ”Komunikasi sosial” agar tidak berkembang menjadi
konflik kekerasan yang akan membuat kesulitan bagi negara dalam membangun
integrasi Nasional. Komunikasi sosial dapat meretas sikap individu-individu
yang lebih mengutamakan kepentingan kelompok, dengan prasangka-prasangka yang
membentuk pandangan streotip negatif, jarak sosial, dan diskriminasi terhadap
kelompok lainnya. Bila potensi konflik ini terus dikembangkan oleh para aktor
sosial (social actors) sampai pada level masyarakat akar rumput, maka
hal ini akan menjadi ”pupuk” bagi berkembangnya konflik kekerasan komunal dalam
masyarakat.
Pendekatan antara masyarakat
dengan institusi terkait melalui Komunikasi sosial, dapat diwujudkan
apabila terjadi interaksi sosial dengan inovasi-inovasi baru sebagai
konsekuensi wujud dari tujuan/kebutuhan yang sama. Inovasi-inovasi baru yang
muncul tersebut dapat diimplementasikan dalam mengatasi permasalahan yang
timbul dalam suatu sistem sosial yang ada dimasyarakat dan mengurangi
gesekan-gesekan dimasyarakat. Permasalahan-permasalahan dalam komunitas
masyarakat, perlu mendapatkan perhatian oleh sistem sosial yang ada terutama
hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial yang bersifat menunjang
kehidupan masyarakat. Implementasi yang paling penting adalah membangun
pemahaman tentang pentingnya “komunikasi” dan cara “berinteraksi” antara
masyarakat dengan intitusi terkait sehingga akan terjadi kesejahteraan yang
diharapkan.
Satuan komando kewilayahan
dalam menghadapi konflik sosial di wilayah harus dapat berperan sebagai
institusi/lembaga yang berfungsi sebagai jalan keluar, untuk meredakan
permusuhan yang dilakukan melalui komunikasi sosial kepada masyarakat. Dalam
perspektif Lewis A.Coser seorang ahli sosiologi, bahwa untuk mengatasi konflik
dibutuhkan suatu institusi
pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah sistem
atau struktur sebagai katup penyelamat yang berfungsi
sebagai jalan ke luar untuk meredakan permusuhan. Tanpa institusi/lembaga itu
maka hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin
menajam. Sebagai contoh badan perwakilan mahasiswa. Lembaga tersebut membuat
kegerahan yang berasal dari situasi konflik tersalur tanpa menghancurkan sistem
tersebut.
Para
ilmuan sosial mengakui bahwa budaya dan komunikasi itu mempunyai hubungan
timbal balik, bagaikan dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku
komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan, memelihara,
mengembangkan atau mewariskan budaya. Komunikasi sosial dapat memberikan
pemahaman baru sehingga merubah Mindset (Paradigma) dan merubah prilaku ke arah yang
diharapkan. Dalam pembentukan budaya, maka komunikasi sosial diarahkan kepada
pembentukan budaya dalam masyarakat melalui penyuluhan maupun dialog tentang
wawasan kebangsaan maka masyarakat akan mengerti dan paham tentang kehidupan
berbangsa dan bernegara yang berdasarkan pancasila dan UUD 45, menjunjung
tinggi Bhineka Tunggal Ika dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam
rangka menghadapi adanya potensi konflik dari Bangsa yang majemuk ini, serta
upaya pencegahan dan penanganan konflik komunal yang terjadi khususnya di
wilayah kota Tarakan, antara suku Tidung maupun
suku Pattinjo Letta, maka komunikasi sosial
sebagai salah satu metoda Binter sangat mendukung keberhasilan pelaksanaan
tugas pokok TNI AD. Kegiatan komunikasi sosial dapat dilakukan dengan perencanaan
dan kegiatan serta kemampuan untuk memelihara serta meningkatkan keeratan
hubungan dengan segenap komponen bangsa yang dilaksanakan guna terwujudnya rasa
saling pengertian dan kebersamaan yang memungkinkan timbulnya keinginan
masyarakat untuk berpartisipasi pada kepentingan pertahanan Negara, meliputi
upaya untuk meningkatkan pemahaman bagi segenap komponen bangsa terhadap
pertahanan Negara, ketahanan wilayah, wawasan kebangsaan, persatuan dan
kesatuan bangsa serta pembentukan karakter bangsa.
Langkah-langkah
strategi penanganan konflik pada
penanganan konflik sosial di Kota Tarakan, dapat dilakukan oleh Satuan komando
kewilayahan Kota Tarakan dengan
tahapan, pada saat “Sebelum Terjadi
Konflik”, “Selama Terjadi Konflik”
dan “Sesudah Terjadi Konflik” melalui
pendekatan penyelesaian konflik yang dikategorikan dalam dua dimensi ialah
kerjasama /tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua
macam dimensi tersebut, maka pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial
diarahkan untuk membantu mengatasi konflik komunal yang dijabarkan sebagai
berikut.
“Sebelum terjadi konflik”,
satuan komando kewilayahan Kota Tarakan perlu melakukan pembinaan teritorial
dengan metode komunikasi sosial kepada aparat pemerintahan, tokoh adat, tokoh
agama dan tokoh masyarakat Kota Tarakan secara rutin agar terbentuk kesamaan
langkah dan pikiran untuk membangun kehidupan yang harmonis di Kota Tarakan.
Komunikasi sosial diarahkan kepada pembinaan mental spiritual, pembentukan
budaya serta negosiasi, yang dapat dilaksanakan melalui coffee morning atau pertemuan ringan saat minum kopi atau minum teh
bersama, untuk bertatap muka atau anjangsana dengan mendatangi tokoh masyarakat
maupun melalui sosialisasi, penyuluhan atau dialog.
Saat terjadi konflik. Pada
tahap “selama terjadi Konflik”,
Perspektif
konflik karya ahli sosiologi Jerman “George Simmel” memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak
mungkin dihindari dalam masyarakat, “semakin
besar derajat keterlibatan emosional dari kelompok-kelompok dalam suatu
konflik, semakin besar kemungkinan konflik menjadi bersifat violent.” Dalam kasus
Tarakan ini, untuk
memecahkan persoalan konflik secara permanen dan merajut kembali perdamaian,
maka harus dilakukan berbagai langkah strategis. Komunikasi sosial diarahkan kepada upaya untuk
membantu menentukan langkah-langkah penanganan konflik, diawali dengan
pengidentifikasian masalah, penentuan tindakan, meredam konflik, penindakan dan
negosiasi, rekonsilasi dan rekonstruksi.
Setelah terjadi konflik.
Setelah terjadi konflik (Pasca konflik), maka upaya yang harus dilakukan adalah
membangun perdamaian pasca-konflik diarahkan kepada dua masalah utama yang
harus dipecahkan, yaitu bagaimana mencegah agar konflik tidak kembali terjadi
serta mendorong tercapainya konsolidasi perdamaian dan pembangunan
berkelanjutan. Kedua masalah ini menjadi tugas utama bekerjanya kelembagaan
pembangunan perdamaian pasca-konflik. Kapasitas kelembagaan untuk mengatasi
kedua masalah ini sangat menentukan keberhasilan pembangunan perdamaian
pasca-konflik. Komunikasi sosial diarahkan kepada upaya untuk membantu
menentukan langkah-langkah penanganan pasca konflik, dengan tahapan
rehabilitasi, rekonstruksi serta pembinaan.
Pada tahap sebelum terjadi konflik,
Komunikasi sosial dilaksanakan melalui teknik penyuluhan atau dialog yang
diarahkan kepada pendekatan kemasyarakatan guna mewujudkan sistim peringatan
dini, pembentukan mental spiritual dan kejuangan, pembentukan budaya dan tenik
negosiasi yang disampaikan oleh personel yang telah memiliki pengetahuan
dan menguasai materi yang akan disampaikan, menguasai ilmu-ilmu sosiologi,
memiliki sikap, mental, prilaku dan penampilan yang dapat diterima oleh
masyarakat, secara umum dapat meyakinkan terhadap isi pesan yang akan
disampaikan, sebab tanpa orang-orang ahli dan profesional,
tentunya tidak akan efektif dalam pelaksanaannya, artinya penyuluhan tidak
dapat menemukan minat dan kebutuhan masyarakat, sehingga penggunaan metode yang
diharapkan tidak sesuai dengan kondisi lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan
nilai sosial budaya masyarakat.
Sistim peringatan dini sangat
dibutuhkan untuk dapat mengambil langkah antisipatif menghadapi kemungkinan
konflik. Tanpa adanya sistim peringatan dini, bisa dipastikan penanganan
konflik akan terlambat. Pada tataran organisasi masyarakat yang paling rendah
ditingkat Desa, kelurahan, Kecamatan, Kota Madya sampai dengan tataran yang
paling tinggi ditingkat provinsi, perlu di petakan wilayah potensi
konflik, melalui berbagai media komunikasi,
dan media masa cetak maupun elektronik, agar dapat disampaikan berbagai
informasi mengenai potensi konflik di daerah tertentu. Dengan berjalannya
system peringatan dini, diharapkan konflik yang lebih besar dapat dihindari. Satuan
komando kewilayahan dalam membangun sistim peringatan dini, dilaksanakan dengan
teknik tatap muka, anjangsana dan dialog, yang diarahkan untuk membentuk
kelompok kerukunan di masyarakat serta mendata tokoh didalamnya agar lebih
terorganisir sehingga memudahkan dalam pengendaliannya. Selanjutnya membentuk
mitra karib untuk dapat bekerjasama memberikan informasi maupun menangani
kejadian sehingga dapat diantisipasi langkah-langkah guna penanganan konflik.
Dalam pembentukan mental spiritual, pada
saat sebelum terjadi konflik, dilaksanakan melalui komunikasi sosial dengan
teknik penyuluhan dan sosialisasi yang diarahkan pada kegiatan berkaitan dengan
pembentukan mental dan kejuangan, kesadaran berbangsa dan
bernegara, bela negara, persatuan dan kesatuan, nasionalisme, wawasan kebangsaan, pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan
cinta tanah air, ditujukan untuk
menumbuhkan perubahan yang dikehendaki yaitu perubahan perilaku menjadi budaya yang
dapat berdayaguna dan berhasilguna serta mampu menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. “Bhinneka Tunggal Ika harus tetap di pertahankan, dan
pertemuan, tatap muka serta anjangsana perlu secara rutin dilaksanakan sehingga
timbul komunikasi yang positif untuk menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan
yang solid dalam rangka menghadapi potensi konflik yang ada.
Teknik Negosiasi perlu dipersiapkan
secara dini melalui pendidikan dan latihan, agar dapat menyampaikan pesan
kepada masyarakat untuk memperoleh pembelajaran dan pengalaman tentang segala
sesuatu yang ia kerjakan, melalui upaya pemberdayaan dan kemampuan memecahkan
masalah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayah masing-masing, dengan
prinsip kesetaraan dan kemitraan, keterbukaan, kesetaraan kewenangan, dan
tanggung jawab serta kerja sama, yang ditujukan agar masyarakat berkembang
menjadi dinamis dan berkemampuan untuk memperbaiki kehidupan dan penghidupannya
dengan kekuatan sendiri. Dalam kegiatan Negosiasi, maka komunikasi sosial
melalui teknik negosiasi diarahkan kepada penyelesaian konflik sesuai
nilai-nilai yang diinginkan masyarakat serta searah dengan kebijakan Pemerintah
dan Pemerintah Daerah.
Sebelum
terjadi konflik, maka Komunikasi sosial dengan aparat penegak hukum penting
dilaksanakan. Teori pembelajaran
sosial menyatakan bahwa perilaku menyimpang ataupun menyelaraskan diri
ditentukan oleh konsekuensi-konsekuensi imbalan dan sanksi yang menyertai
perilaku itu. Suatu perilaku diperkuat oleh penghargaan atau penghindaran
hukuman, dan diperlemah oleh pencegahan atau tak adanya penghargaan.
Pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial kepada aparatur penegak hukum dengan
cara dialog, untuk diarahkan kepada dukungan agar dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan baik, bersikap adil,
jujur, bertindak tegas dan profesional, dapat bekerja dengan cepat dan cerdas (profesional) dalam meredam dan menyelesaikan
konflik, memproses dan memberikan efek jera bagi para pelaku yang
terbukti bersalah, seperti
yang terjadi di kota Tarakan ini, sehingga hal ini kelak menjadi contoh bagi penyelesaian konflik dan penegakkan
hukum pada
kasus yang sama dimasa mendatang.
Pada
saat konflik terjadi, penanganan konflik sosial diawali dengan pengidentifikasian masalah, dimana langkah
ini bertujuan agar dapat menentukan tindakan penanganan konflik yang
diharapkan. Kurangnya Informasi serta lemahnya dalam menganalisa suatu masalah
maka output yang diperoleh juga akan menjadi lemah. Pada saat terjadi konflik
maka Komunikasi sosial diarahkan kepada kegiatan menganalisa kejadian dalam
rangka penentuan tindakan agar kegiatan yang telah ditentukan dapat
dilaksanakan sesuai dengan kondisi nyata dilapangan. Komunikasi sosial
dilaksanakan secara terus menerus kepada masyarakat yang bertikai agar konflik
tidak bertambah luas, sehingga tujuan untuk meredam konflik dapat tercapai.
Selanjutnya komunikasi sosial diarahkan kepada kegiatan penanganan konflik pada
langkah penindakan dan negosiasi serta pasca konflik untuk dapat memperoleh
kesepakatan maupun konsensus bersama, sehingga dapat dirumuskan 5 langkah penanganan
konflik sosial melalui identifikasian masalah, penentukan tindakan, meredam
konflik, penindakan dan negosiasi.
Langkah
identifikasi masalah dilaksanakan pada saat terjadi konflik, melalui komunikasi
sosial yang diarahkan kepada kegiatan penganalisaan masalah, untuk memahami dengan tepat mengapa konflik terjadi, agar
dapat ditemukan akar masalah yang akurat sehingga dapat menentukan langkah-langkah
strategis penanganan konflik secara runtun. Satkowil dan
Babinsa harus paham akan karakteristik wilayahnya, tentang apa dan bagaimana
kondisi wilayah, karakter serta tempramen masyarakatnya. Persoalan apa saja
yang sering terjadi dan merupakan kerawanan, apakah sering terjadi perkelahian,
pencurian, pembunuhan atau tawuran serta apa saja yang dapat dijadikan sebagai
bahan atau nilai untuk memahami masalah, kemudian diskusikan
tentang cara untuk berdamai dalam kondisi kurangnya konsensus dan
perbedaan, pada suatu kebijakan yang tumbuh di komunitas, agar dapat
ditentukan tindakan pencegahan konflik yang kemudian dituangkan kedalam suatu
konsep, sebelum menjelajahi bagaimana mencegah dan mengelola kejadian tersebut.
Kekeliruan dalam melakukan diagnosis membawa akibat kekeliruan dalam menentukan
tindakan.
Langkah penentuan tindakan dilaksanakan
setelah pengidentifikasikan masalah. Pada langkah penentuan
tindakan, prinsip-prinsip perdamaian harus tetap dikedepankan agar tidak
terbuka peluang terjadinya konflik komunal yang lebih besar lagi dan
destruktif. Pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial diarahkan kepada
konsep “penentuan tindakan” yaitu konsep penentuan tindakan pada penanganan
konflik, dengan melaksanakan komsos kepada komponen masyarakat, aparat
pemerintah, serta aparat penegak hukum selaku penyelenggara kepemerintahan di
daerah. Pada tahap penentuan tindakan, langkah negosiasi harus tetap diletakan
didepan guna mengantisispasi kemungkinan ada celah terbuka yang harus ditangkap
terhadap suatu peluang untuk kemungkinan bernegosiasi, walaupun secara teori
disebutkan bahwa konflik komunal harus terjadi untuk diperoleh suatu
kesepakatan baru sehingga dapat menjadi suatu konsensus yang telah disepakati
bersama.
Langkah
negosiasi dilakukan melalui metode komunikasi sosial yang diarahkan kepada kegiatan
pendekatan masalah, kemudian diskusikan permasalahan apa saja yang menjadi akar
masalah dari konflik, termasuk masalah ekonomi, lapangan kerja dan penegakan
hukum untuk dituangkan kedalam kegiatan negosiasi. Dalam kejadian konflik di
Kota Tarakan, maka langkah negosiasi diperlukan guna memperoleh suatu konsensus
yang telah ditetapkan bersama sehingga dapat dituangkan kedalam suatu
“Deklarasi”, yang sangat dibutuhkan bagi masyarakat agar dapat melangsungkan
hidup dalam keragaman budaya di Kota Tarakan. Perbedaan menurut pandangan ahli
sosiologi, merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur
sosial serta dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat
secara keseluruhan.
Dalam
langkah penindakan menghadapi konflik di wilayah Kota Tarakan, maka komunikasi
sosial diarahkan pada kegiatan penindakan dengan mengedepankan “negosiasi” agar
dipeoleh suatu “konsensus” bersama, untuk dituangkan kedalam suatu deklarasi.
Sedangkan langkah penyekatan dan pemisahan dikomunikasikan untuk mencegah
bentrokan maupun adanya pengerahan masa dari luar wilayah yang dapat
memperkeruh suasana dan dapat memakan korban. Perlu diwaspadai dan di
antisipasi pintu-pintu masuk ke Kota Tarakan. Satkowil perlu melakukan analisa
untuk mengantitisipasi kemungkinan terjadinya konflik dalam skala yang lebih
luas lagi dengan melibatkan pengerahan masa dari luar wilayah ke Kota Tarakan.
Ditinjau dari Adanya struktur dan kekerabatan berdasarkan kesamaan bahasa
lainnya, baik dari pihak suku Tidung maupun
suku Pattinjo Letta.
Langkah
ketiga “meredam konflik”. Setelah
pengidentifikasian masalah dan penentuan tindakan, maka upaya meredam konflik dilaksanakan dengan
menetapkan instrumen yang digunakan untuk mencegah, menghindari,
meminimalkan, dan mengelola konflik antara
berbagai kelompok atau menyelesaikan sengketa sebelum mereka berkembang
menjadi konflik yang destruktif. Pada tahap meredam konflik, peran
pemerintah daerah dan Satkowil sampai Babinsa sangat penting, sebagai instrumen
untuk melaksanakan komunikasi sosial guna memelihara kondisi damai dalam
masyarakat sampai tingkat desa dengan teknik tatap muka dan dialog untuk mencapai solusi. Pemerintah daerah menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 38/2007, tentang pembagian urusan pemerintahan
antara Pemerintah, Pemda Provinsi, dan Pemda Kabupaten/Kota, khususnya yang
menyangkut urusan kesatuan bangsa, maka pemerintah daerah dituntut untuk
mencegah terjadinya konflik sosial di daerah.
Komunikasi
sosial dalam penanganan konflik. Pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial
bersama pemerintah daerah, aparat keamanan dan Satkowil serta tokoh masyarakat
sampai tingkat desa, untuk terus mendorong masyarakat yang berkonflik, membuat
berbagai permufakatan damai. Pada tataran Babinsa (Kades), Danramil
(Camat) sampai Dandim (Kapolres), pembinaan teritorial melalui komunikasi
sosial diarahkan kepada kegiatan untuk meredam potensi konflik, mendorong
aparat penegak hukum pada tataran wilayah Kota sampai dengan Desa atau Kelurahan, dalam menegakan hukum
tanpa diskriminasi. Berbagai bentuk kegiatan dalam rangka mengintensifkan
dialog antar kelompok masyarakat mulai dari tataran desa, kelurahan, Kota
madya, sampai dengan tataran yang paling tinggi ditingkat provinsi, perlu
dilaksanakan untuk dapat meredam potensi konflik.
Apabila
konflik tidak dapat dicegah lagi, maka konflik sosial yang terjadi diatasi
dengan penindakan, penyekatan dan pemisahan serta pembinaan teritorial melalui
komunikasi sosial yang dilakukan secara paralel, diarahkan kepada penghentian
konflik dengan mengkomunikasikan tentang penanganan konflik sosial oleh pihak
berwewenang sesuai UU No 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS) dan UU
no 24/2007 (BNPB) tentang penangulangan bencana sosial. Penghentian konflik yang
diatur dalam UU PKS itu lebih menekankan
langkah-langkah represif oleh aparat berwewenang yang
dikoordinasikan dan dikendalikan oleh Polri. Sedangkan UU no 24/2007 (BNPB)
merupakan penanganan konflik sosial pada saat sebelum, selama dan sesudah terjadi
konflik serta pasca konflik (rehabilitasi dan rekonstruksi).
Selanjutnya kita perlu mengembangkan
sistem penyelesaian perselisihan secara damai. Mengembangkan system
penyelesaian perselisihan secara damai selain menjadi bagian dari pointers
perjanjian damai, berbagai konflik yang tidak dapat dihindari dilapangan harus
segera diselesaikan dengan musyawarah mufakat, dan sangat menghindari
menggunakan cara-cara kekerasan. Penekanan kepada tokoh-tokoh adat,
agama, dan masyarakat untuk segera bertindak untuk mendamaikan pihak-pihak
yang berkonflik harus bisa dilakukan. Peran kepala adat atau tokoh adat serta
tokoh masyarakat sampai tingkat desa didukung oleh aparat Satuan komando
kewilayahan sangat diharapkan.
Langkah keempat “penindakan”,
pembinaan teriorial melalui komsos berperan sebagai tim negosiasi bersama
aparat pemerintah dan tokoh masyarakat. satuan tugas yang telah disiapkan
setelah mengadakan penyekatan serta pemisahan antara kelompok masyarakat yang
bertikai, selanjutnya Tim negosiasi beserta tokoh masyarakat yang telah
terbina, mencari tokoh masyarakat yang bertikai untuk di ajak berunding baik
secara persuasif maupun secara paksaan dengan teknik Negosiasi, dan
dilaksanakan ditengah pelaku konflik, dengan maksud untuk mencapai kompromi
atau kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak ke arah hasil yang
positif bagi kepentingan bersama. Apabila kedua belah pihak masih berkeras maka
aparat akan mengadakan penekanan kepada masyarakat yang bertikai, untuk
memperoleh nilai tawar agar mau bernegosisasi.
Langkah pencegahan kerumunan masa.
Pencegahan kerumunan masa dilakukan untuk mencegah terbentuknya kerumunan masa
dengan cara segera menangkap dan menyingkirkan pembuat
keributan, kemudian memerintahkan para penonton untuk bubar, meniadakan kerumunan, menghadapi
kericuhan yang mengancam dengan menampilkan ‘pameran kekuatan’ (show of
force), mengisolasi wilayah
kerusuhan dan menyuruh orang-orang pergi, serta melarang orang-orang luar
untuk masuk ke wilayah tersebut
atau mencegah orang dari luar daerah masuk ke Kota Tarakan.
Pembubaran
kerumunan. Perilaku kolektif saat
terjadinya konflik di Tarakan tidak luput dari perilaku kerumunan (crowd).
Menurut Le Bon dalam Robertson (1978), kerumunan mempunyai ciri-ciri baru yang
semula tidak dijumpai pada masing-masing anggotanya. Dalam kasus Tarakan ini
adalah kelompok PUSAKA. Dalam kerumunan prilaku seseorang
dapat berubah menjadi individu yang
berperilaku tidak sesuai dengan norma, atau menyimpang yang selama ini tidak
pernah dilakukannya. Sebagai contoh adanya prilaku merusak properti orang lain atau menghancurkan
fasilitas-fasilitas umum, menganiaya orang, bahkan melakukan pembunuhan.
Langkah kelima “Negosiasi”.
Komunikasi sosial dilakukan pada langkah negosiasi. Negosiasi adalah suatu cara
bertindak ditengah pelaku konflik. Negosiasi dalam kamus “Oxford Dictionary” didefinisikan sebagai : “pembicaran dengan orang
lain dengan maksud untuk mencapai kompromi atau kesepakatan, untuk mengatur
atau mengemukakan.” (tawar-menawar, perundingan, perantaraan atau barter).
Dengan kata lain, negosiasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu
keadaan yang dapat diterima kedua belah pihak atau membutuhkan kerjasama kedua
belah pihak untuk mencapainya. Dengan demikian, setiap konflik komunal relatif
dapat diredam. Keberhasilan mengatasi konflik merupakan bagian integral dari
upaya mewujudkan “keamanan dan ketertiban umum” (general security and order).
Dalam
pembangunan perdamaian pasca-konflik, maka pencegahan konflik (conflict prevention) dan pemeliharaan
perdamaian (peace keeping) harus
dipadukan dan dijalankan secara berlanjut melalui komunikasi sosial. Bahkan,
dalam situasi khusus ketika perjanjian damai gagal dijalankan dan masyarakat
pasca-konflik kembali jatuh dalam konflik. Pendekatan penciptaan perdamaian (peace making), komunikasi sosial masih
harus terus digunakan. Belajar dari pengalaman di berbagai peristiwa konflik,
perjanjian damai seringkali gagal mencapai konsolidasi perdamaian, dan karena
itu konflik mudah kembali terjadi (recurring
conflict), akibat dari kurang kuatnya konsensus dan nilai-nilai pencapaian
perdamaian serta lemahnya kelembagaan yang ada dalam mengimplementasikan
perjanjian damai. Selain itu, kuatnya tertanam sejarah dan siklus konflik
kekerasan di masa lalu.
Besarnya
dampak kekerasan dan masalah-masalah ketidakadilan serta kesenjangan sosial
ekonomi yang dihadapi masyarakat pasca-konflik, seperti yang terjadi pada
tragedi “Sampit” Kalimantan Tengah, dimana pengusiran etnis Madura keluar
daerah secara besar-besaran terjadi. Komunikasi sosial dalam penanganan konflik
sosial diarahkan kepada pendekatan budaya, cara ini cukup efektif dilakukan seperti
kejadian konflik di Kabupaten poso, dapat diselesaikan dengan pendekatan adat
istiadat melalui komunikasi sosial dan akan jauh lebih permanen dalam
penyelesainnya bila dibandingkan dengan pendekatan “hukum” untuk menghindari
kemungkinan masih adanya ganjalan-ganjalan antara kedua belah pihak yang
sewaktu-waktu dapat menimbulkan konflik. Pemimpin kedua belah pihak bersama
dengan pemerintah dan seluruh organisasi masyarakat adat setempat, bekerjasama
melakukan komunikasi sosial ke seluruh lapisan masyarakat.
Komunikasi
sosial diarahkan kepada penyelesaian masalah pasca konflik serta untuk merdam
dan mencegah timbulnya kembali konflik yang sama dimasa mendatang. Pemerintah
Daerah perlu mengambil langkah rekonsilasi untuk menuntaskan permasalahan serta
implementasi pelaksanaan perjanjian atau deklarasi yang meliputi rehabilitasi
sarana dan prasarana umum dan rehabilitasi perumahan yang hancur akibat
konflik. Komunikasi sosial diarahkan kepada upaya-upaya agar penanganan
pengungsi dan pengembalian pengungsi pasca akte perdamaian dapat dilaksanakan.
Penyelesaian permasalahan pengungsi melalui upaya rekonsiliasi yang intensif
serta dukungan dari berbagai pihak yang bertikai, lembaga pemerintah maupun
masyarakat untuk mengupayakan situasi yang lebih kondusif. Sosialisasi kepada
masyarakat mengenai rencana penyelesaian masalah pengungsi secara menyeluruh.
Menjalankan konsensus yang telah ditetapkan, membangun
sarana dan prasarana publik yang sempat dirusak, mengembalikan roda
perekonomian serta menjalankan roda pemerintahan agar kembali normal. Pihak
Polri dan Satuan Komando Kewilayahan terus berupaya memulihkan kondisi keamanan
dan melakukan penegakan hukum. Usaha-usaha pengembangan perdamaian pada
masyarakat dengan sifat dasar yang berbeda dapat dilaksanakan melalui
pendekatan budaya yang cukup efektif melalui komunikasi sosial dan Bakti TNI. Komuniasi
sosial pasca konflik dilaksanakan dengan teknik penyuluhan, sosialisasi dan
dialog, untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, mencerdaskan kehidupan
bangsa, mengembangkan sikap toleransi juga dilakukan untuk memberikan
pendidikan tentang berbangsa dan bernegara, wawasan kebangsaan, 4 Pilar Bangsa
yaitu Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhineka Tunggal Ika serta merubah prilaku
masyarakat yang dapat di implemetasikan dalam kehidupan sehari-hari,
Pembinaan
teritorial melalui komsos diarahkan untuk pemihakan dan pemberdayaan (affirmative action and
empowerment) penduduk lokal terutama dalam bidang pendidikan. Komunikasi
sosial dengan aparat hukum di daerah, dengan memantau setiap kejadian serta
mengkomunikasikannya kepada aparat penegak hukum, agar dapat menjalankan tugas dan fungsi dengan baik, bersikap adil,
jujur, bertindak tegas dan profesional; sehingga mampu mencegah meletusnya
kembali konflik, dan para pengungsi yang diusir dari rumah-rumah mereka karena
dibakar dan dihancurkan massa, dengan bantuan pemerintah daerah,
mereka dapat kembali secara damai ke tempat mereka semula
dengan jaminan keamanan, sehingga dapat hidup normal seperti sedia kala.
Komsos
dengan aparat pemerintah daerah. Pada permasalahan tentang pendapat masyarakat
atas kurang seriusnya Pemerintah daerah
menangani permasalahan di daerahnya, sehingga menimbulkan persepsi bahwa, Pemda melakukan pembiaran dalam mengatasi permasalahan kesenjangan sosial budaya dan ekonomi antara
suku Tidung dan suku Pattinjo Letta, yang menyebabkan permusuhan ini semakin meluas.
Maka pembinaan teritorial melalui komunikasi sosial diarahkan kepada pembinaan
aparat pemerintah dan komponen masyarakat. Dalam permasalahan ini, pada tataran Babinsa, Danramil sampai Dandim
perlu melaksanakan komunikasi sosial kepada aparat pemerintah daerah/desa untuk
mendiskusikan serta mencari jalan keluar terbaik, dengan sasaran timbulnya
kepedulian pemerintah daerah terhadap kesenjangan sosial budaya dan ekonomi antara suku Tidung dan suku Pattinjo Letta di Kota
Tarakan untuk lebih sering bertemu dan
berdialog. Hasil-hasil pertemuan itu disosialisasikan ke kelompok masing-masing
yang bertikai melalui mitra karib yang terbentuk sebagai sistim
peringatan dini didaerah sampai ke desa. Dengan melakukan berbagai upaya serta diciptakan iklim yang dinamis dan
dialogis; maka konflik sosial seperti yang telah terjadi dapat diselesaikan dengan baik, damai dengan
penuh semangat kekeluargaan dan persahabatan.
Akhir kata. Realita bahwa masyarakat Kota
Tarakan sejatinya merupakan masyarakat dengan tingkat
keanekaragaman budaya yang sangat kompleks dan disebut “Multikulturalisme”, serta memiliki resiko terjadinya benturan
budaya yang apabila tidak ditangani secara serius akan dapat menimbulkan permasalahan
konflik dan kekerasan komunal terhadap kelompok
masyarakat lainnya yang berbeda suku, agama, atau golongan ras.
Adanya potensi konflik tersebut diakibatkan oleh kebuntuan komunikasi yang
menyebabkan benturan budaya, perbedaan
idiologi, kepentingan politik dan ekonomi bersifat internal sehingga
melahirkan cultural shock di kalangan penduduk
asli.
Kecemburuan sosial budaya dan ekonomi, pada kenyataanya mengendap, mengacu pada kondisi ketiadaan norma (social normlessnes)
dan pada akhirnya menimbulkan rasa iri dan dendam sehingga
memicu terjadinya konflik.
Pembinaan
teritorial melalui komunikasi sosial merupakan suatu metode yang dapat
dilaksanakan dalam upaya penyelesaian masalahan konflik komunal di Kota Tarakan
dengan tujuan untuk membangun konsep diri, kebudayaan,
kelangsungan hidup dan aktualisasi diri yang diarahkan kepada penanganan
konflik sosial melalui perencanaan dan kegiatan untuk memelihara serta
meningkatkan keeratan hubungan dengan segenap komponen bangsa, dengan
pentahapan sebelum, selama dan sesudah konflik terjadi guna menangani potensi konflik di masyarakat. Dalam kegiatan
penanganan konflik sosial, maka pengidentifikasian masalah,
penentuan tindakan serta negosiasi, dalam suatu kejadian maupun dalam suatu
persepsi ancaman diperlukan, agar dapat menentukan tindakan serta untuk mencapai suatu keadaan yang dapat
diterima oleh kedua belah pihak yang dituangkan kedalam suatu konsep
manajemen, sebelum menjelajahi bagaimana mencegah dan mengelola kejadian,agar
diperoleh suatu konsensus yang dapat
dituangkan kedalam akta perdamaian menjadi suatu deklarasi yang dapat
diterapkan pada pasca konflik.
Dalam
rangka menciptakan kondisi wilayah yang kondusif maka disarankan sebagai
berikut :
Satuan
komando kewilayahan perlu membangun sistim peringatan dini di wilayah melalui
komunikasi sosial, dalam wujud mitra karib yang dapat berfungsi sebagai
peringatan dini terhadap potensi konflik, dengan memanfaatkan sarana dan
prasarana komunikasi yang ada.
Satuan
Komando kewilayahan agar membentuk kelompok-kelompok kerukunan yang solid
melalui komunikasi sosial serta membina seluruh komponen masyarakat yang ada
secara intensif sehingga terbentuk kesatuan kerukunan masyarakat adat yang
solid dalam rangka membina kerukunan bangsa di wilayah
Satuan
komando kewilayahan agar membentuk tim negosiasi dan sosialisasi serta
melatihkannya, agar dapat melaksanakan tugas untuk Menganalisa,
Mengidentifikasi, Menentukan tindakan, Negosiasi serta Mensosialisasikan, dalam
rangka penanganan konflik social sesuai perundang undangan yang ada.
Satuan
komando kewilayahan agar melaksanakan komunikasi sosial kepada pemerintah
daerah, aparat penegak hukum dan masyarakat untuk mensosialisasikan perdamaian,
membangun sarana dan prasarana yang hancur, penegakan hukum yang jujur dan adil
dalam rangka menciptakan kondisi wilayah yang kondusif.
Demikian
tulisan kami dibuat, memohon maaf apabila ada kekurangan serta kata kata yang
kurang berkenan.
No comments:
Post a Comment